SUKOHARJO, (Panjimas.com) – Banyak ditemukan fakta bahwa GIDI (Gereja Injili Di Indonesia) terlibat dalam kekerasan di Tolikara. Selain itu menurut sejumlah sumber, GIDI juga mendapat bantuan dana asing dari isael. Padahal dalam UU Ormas di Indonesia hal tersebut dilarang.
“Kalau benar seperti itu ya tidak boleh itu jelas melanggar konstitusi. Harusnya pemerintah melalui Kemendagri segera turun tangan dan melakukan tindakan tegas terhadap GIDI.”
Ormas atau LSM harus memiliki persyaratan dalam akuntabilitas pendaan. Terutama dana dari asing. Selain itu dalam UU ormas Tahun 1985 pasal 13 juga disebutkan jika sebuah ormas terbukti melakukan pelanggaran kemanan. Maka pemerintah berhak untuk membekukan dan membubarkannya.
Jika kita tengok ke sejarah yang ada munculnya dana asing itu tujuannya hanya untuk mengacak-acak kedaulatan kita. Sebagai contoh tahun 1993 ada dana resmi dari pemerintah Amerika Serikat sebesar 30 Milyar dan diberikan ke 30 LSM di Indonesia.
Tujuannlah adalah untuk demokratisasi yaitu dengan menggulingkan Presiden Suharto. Dan LBH yang paling banyak menerima bantuan tersebut. Ini dibuktikan dengan sebuah tulisan di New York Times tanggal 20 Mei 1998.
Terkait GIDI berhubungan dengan israel Pakar Hukum Konstitusi tersebut menilai,
“Hukum internasional kita tidak memiliki perjanjian bilateral dengan israel. Yang kedua ini menyangkut masalah komitmen dalam UUD 145 Indonesia menolak segala bentuk penjajahan tetapi israel sampai saat ini masih menjajah dan merampas hak kemerdekaan atas Palestina.” Ujarnya. Kamis (30/7) saat diwawancarai di kediamannya didaerah Kartasura Sukoharjo.
Dengan adanya simbol- simbol atapun banyak orang israel yang datang ke Papua ini menunjukkan adanya pelanggaran konsitusi dan pelanggaran terhadap kedaulatan negara. Adanya pelaksanaan Seminar dan Konfrensi internasonal KKR harusnya juga ada ijin dari Mabes Polri.
“Namun saya mendengar hal itu tidak dilakukan. Menjadi sangat ironis di negara kita ada simbol penjajah.”
GIDI sendiri merupakan aliran geraja yang paling kuat. Yang disesalkan adalah GIDI ini bisa mempengaruhi sikap pemerintah dan juga menimbulkan aturan-aturan diskriminatif. Seperti larangan melakukan Sholat Id, melawarang Muslimah berjilbab dan lain-lainnya.
GIDI itu merupakan organsisasi masyarakat baru bukan merupakan adat. Artinya kalau mereka memaksakan untuk diakui sebagai sumber kekuatan hukum itu tidak bisa. Lain halnya dengan adat yang ada di Papua. Seperti ketua adat atau simtem Noken dalam pemilu.
Jika alasan manyoritas dijadikan alasan untuk menggolkan sebuah aturan hukum, DR Aidul Fitriciada menyatakan ketidaksepakatannya,
“Tidak bisa hukum berdasar pada mayoritas. Kecuali bersumber pada hukum adat atau tradisi. Seperti di Jogja ataupun Aceh. Beda dengan Papua”
GIDI sendiri merupakan aliran ekstrim atau radikal karena tidak diakui di PGI (Persatuan Gereja Indonesia).
Dipilihnya Kapupaten Tolikara oleh GIDI atapun israel Dr Aidul menilai karena Tolikara merupakan Kapupaten baru dan disana populasi umat Islam sangat kecil sehingga wajar mereka masuk.
Terkait permasalahan Papua saat ini Dosen Hukum UMS (Universitas Muhammadiyah Surakarta) tersebut mengatakan bahwa kasus ini mirip dengan kasus Timor-timor yaitu masalah agama.
Jadi dulu di Timor-Timor dihembuskan isu Islamisasi padahal faktanya pemeluk Katolik disana itu hanya 3 % tahun 1974 ketika Indonesia masuk. Kemudian tahun 1999 Katolik naik menjadi 90 % tapi mengapa isunya adalah Islamisasi padahal yang terjadi adalah Katolikisasi.
“Saya kira isu di Papua juga hampir sama yaitu isu Islamisasi. Dan tujuan dari semua itu adalah memerdekaan Papua”
Polanya adalah sama dengan penduduk Amborigin di Australia yaitu kualitas penduduk yang buruk padahal negaranya maju. Untuk kondisi di Papua hampir sama.
Namun demikian ada juga permasalahan lain yang harus dipehatikan adalah kebiasaan minum-minuman keras dan sex bebas. Ada temuan seorang profesor di Singapura pernah meneliti bahwa populasi penduduk non papua berkembang dan jumlah penduduk asli berkurang. Karena banyak yang meninggal akibat virus AIDS. Serta sering mabuk.
Untuk itu solusi terbaik untuk menjaga disintegrasi Papua adalah pembentengan akhlak dan moral. Artinya semua dai dan tokoh Islam harus fokus untuk menggarap dakwah di Papua agar degradasi moral itu bisa diselesaikan. Selain itu agar masyarakat Papua sadar dan tidak mudah terprovokasi dengan isu rasis ataupun semakin membenci pemerintahan Indonesia.