JAKARTA, (Panjimas.com) – Majelis Ulama Indonesia telah mengeluarkan fatwa bahwa Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan yang dinikmati masyarakat saat ini tidak sesuai syariah alias haram.
Ketua Bidang Fatwa MUI, KH Ma’ruf Amin, Selasa (28/7) malam menyebutkan unsur yang menjadikan BPJS Kesehatan itu tak sesuai syariah adalah bunga.
“Ya menggunakan bunga, indikatornya bunga,” kata Kiai Ma’ruf Amin, menjelaskan hasil Ijtima Ulama Komisi Fatwa se-Indonesia V Tahun 2015 di Tegal, Jawa Tengah, beberapa hari lalu.
Saat ditanya apakah BPJS Kesehatan yang sekarang ini dijalankan harus dihentikan, Kiai Ma’ruf menjawab solusinya harus segera dibuat BPJS Kesehatan yang syariah.
“Harus dibuat yang syariah. Harus ada BPJS yang syariah, yang diloloskan (syarat-syaratnya) secara syariah,” jelasnya. Seperti dilansir JPNN
Dalam posisi ini, lanjutnya, MUI akan ikut menjalankan perannya membantu pemerintah menelurkan BPJS Kesehatan beserta produk-produknya yang sesuai dengan syariah. “Ya nanti kan dibuat bersama dengan produknya yang syariahnya, sesuai fatwa MUI,” pungkasnya.
Fatwa atau keputusan MUI itu dikeluarkan melalui Ijtima Ulama Komisi Fatwa se-Indonesia V yang diselenggarakan di Pondok Pesantren at-Tauhidiyah, Cikura, Tegal, Jawa Tengah pada tanggal 19-22 Sya’ban 1436 H, alias 7-10 Juni 2015.
Fatwa terkait BPJS Kesehatan ini tercantum di keputusan Komisi B 2, terkait masalah fikih kontemporer, tentang panduan jaminan kesehatan nasional dan BPJS Kesehatan.
Dalam keputusan itu dideskripsikan bahwa MUI memperhatikan program termasuk modus transaksional yang dilakukan oleh BPJS, khususnya BPJS Kesehatan, dari perspektif ekonomi Islam dan fiqh mu’amalah. Dengan merujuk pada fatwa Dewan Syari’ah Nasional-Majelis Ulama Indonesia (DSN-MUI) dan beberapa literatur, tampaknya bahwa secara umum program BPJS Kesehatan belum mencerminkan konsep ideal jaminan sosial dalam Islam.
Terlebih lagi jika dilihat dari hubungan hukum atau akad antar para pihak. Dalam hal terjadi keterlambatan pembayaran iuran untuk pekerja penerima upah, maka dikenakan denda administratif sebesar 2% (dua persen) per bulan dari total iuran yang tertunggak paling banyak untuk waktu 3 (tiga) bulan.
Denda tersebut dibayarkan bersamaan dengan total iuran yang tertunggak oleh pemberi kerja. Sementara keterlambatan pembayaran iuran untuk peserta bukan penerima upah dan bukan pekerja dikenakan denda keterlambatan sebesar 2% (dua persen) per bulan dari total iuran yang tertunggak paling banyak untuk waktu 6 (enam) bulan yang dibayarkan bersamaan dengan total iuran yang tertunggak.
Dari deskripsi tersebut, MUI kemudian merumuskan beberapa masalah yakni: apakah konsep dan praktik BPJS Kesehatan yang dilaksanakan berdasarkan peraturan perundang-undangan telah memenuhi prinsip syariah? Jika dipandang belum telah memenuhi prinsip syariah, apa solusi yang dapat diberikan agar BPJS Kesehatan tersebut dapat memenuhi prinsip syariah? Apakah denda administratif sebesar 2% (dua persen) per bulan dari total iuran yang dikenakan kepada peserta akibat terlambat membayar iuran tidak bertentangan dengan prinsip syriah?