TOLIKARA (Panjimas.com) – Banyak yang tidak tahu, bagaimana asal mula masjid Baitul Muttaqin yang hangus dilalap api pada tragedi Idul Fitri berdarah di Tolikara, Papua itu bisa berdiri. Padahal, gereja selain aliran Gereja Injili Di Indonesia (GIDI) seperti Katolik, Protestan, Advent, Pantekostan dan lainnya, ‘haram’ berdiri di Tolikara.
Ustadz Ali Mukhtar, selaku imam masjid Baitul Muttaqin mengisahkan, bahwa dahulu sekitar tahun 1989 masjid itu mulai dirintis dan didirikan di atas tanah yang diberikan seorang kepala suku.
“Ada anaknya kepala suku namanya Karmin Yekua, itu pernah cerita sama saya. Waktu itu saya tanya, awal mulanya kok bisa kepala suku ngasih tempat ibadah kepada saudara-saudara Muslim?” kata Ustadz Ali Mukhtar di tempat pengungsian, di Komplek dinas Kormil Karubaga, pada Rabu (22/7/2015).
Menurut Ustadz Ali, melakukan pembebasan tanah di Tolikara, apalagi untuk didirikan masjid sangat mustahil terjadi.
“Tahu sendiri, masalah pembebasan tanah itu agak susah di sini, karena tidak ada sertifikat,” imbuhnya.
Ustadz Ali melanjutkan, kepala suku di Tolikara memberikan sebidang tanah untuk dibangung masjid karena rasa hormat mereka kepada para guru Muslim yang mengajar di Tolikara.
“Guru-guru waktu itu shalat, dia ruku, terus sujud. Kepala suku ini lalu bertanya, ‘eee.. bapak guru, saya bingung, kita cari dokter saja, mungkin pak guru tidak enak badan kah?’ Lalu pak guru itu menjawab, eee… bapak, kami ini sedang sembahyang, ajaran agama kami ini adalah ibadah,” kata Ustadz Ali diiringi gelak tawa.
Perlu diketahui, penduduk asli Papua sangat menghormati guru, dokter dan warga negara asing (bule). Alasannya sederhana, karena guru yang mendidik anak-anak mereka menjadi pintar, setelah kondisi mereka sebelumnya yang primitif. Sementara dokter selama ini yang mengobati mereka jika sakit. Adapun hormat mereka pada orang bule, karena dianggap sebagai pengabar Injil.
Singkat cerita, didirikanlah rumah ibadah pertama kali di Tolikara dengan ukuran cukup kecil dan diberi cat hitam. Tujuan diberi cat hitam bukan hijau sebagaimana warna kesukaan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, demi menyesuaikan diri dengan warga lokal sekitar.
“Hari demi hari, umat Islam di sini ingin shalat. Lalu bikin (ruangan, red) ukuran 5 x 5, tiang-tiangnya ada, cuma kotak begitu saja, catnya hitam. Rumah-rumah misionaris dan orang-orang papua begitu, catnya hitam,” tuturnya.
Uniknya, dengan semangat toleransi yang sangat tinggi dari umat Islam di Tolikara, pada awal-awal berdiri, mereka rela tak menyebut rumah ibadah itu sebagai mushalla atau masjid, namun disebut sebagai gereja Islam.
“Kalau orang tanya masjid, putra derah (warga lokal asli Papua, red.) itu tidak tahu, mereka tahunya gereja Islam,” tuturnya.
Tak hanya itu, para tokoh agama Islam di sana pun disebut sebagai gembala Islam.
“Sama saya manggilnya gembala Islam,” imbuhnya.
Bagi warga Muslim yang umumnya pendatang dari luar Papua, penyebutan itu bukanlah hambatan bagi mereka. Mengingat di Tolikara Kristen sangat mendominasi, khususnya GIDI.
“Yang penting kita di sini bisa menempatkan diri. Misi kita di sini rahmatan lil ‘alamin, harus bermanfaat bagi lingkungan sekitar,” ujarnya.
Setelah bertahun-tahun hidup berdampingan, akhirnya rumah ibadah itu menjadi mushalla dan diberi nama Baitul Muttaqin yang artinya rumah orang-orang bertakwa. Subhanallah, nama yang indah, sesuai dengan mental para pendatang yang begitu tegar memegang teguh agama Islam, di tengah arus derasnya penyebaran Kristen dan kerasnya perangai/watak warga asli Papua.
Para tokoh sempat meminta izin kepada warga lokal asli Papua untuk merubah nama mushalla menjadi Masjid Baitul Muttaqin. Namun hal itu ditolak dari warga lokal. Jangankan membuat kubah atau membangun menara masjid, memasang plang yang menunjukkan arah lokasi tempat ibadah juga dilarang. Akhirnya mereka hanya memasang plang Masjid Baitul Muttaqin di dalam. Warga Muslim pendatang mau tak mau harus menerima sikap warga lokal, meskipun hal itu jika dipanda dari sisi Hak Asasi Manusia (HAM) sangat intoleran.
Meski hanya mushalla, namun kegiatan ibadah di tempat tersebut sudah cukup baik, dari mulai shalat Jum’at hingga shalat Idul Fitri telah berlangsung belasan tahun.
Sampai akhirnya, warga Muslim dikejutkan dengan surat edaran yang berisi pelarangan jilbab dan shalat Idul Fitri yang dikeluarkan GIDI. Mereka tak menyangka, warga Muslim yang selama ini hidup rukun dengan Kristen, tiba-tiba terusik dengan sikap arogan, provokatif dan melanggar HAM tersebut. Hingga puncaknya, meletuslah tragedi penyerangan jamaah shalat Idul Fitri dan disusul pembakaran kios-kios yang merembet membakar masjid. [AW]