YOGYAKARTA (Panjimas.com) – Pimpinan Pusat Muhammadiyah memastikan 1 Syawal 1436 Hijriah atau Idul Fitri jatuh pada hari Jumat 17 Juli. Hal itu sesuai dengan hisab hakiki wujudul hilal yang dipedomani oleh Majelis Tarjih dan Tajdid Muhammadiyah.
Ketua PP Muhammadiyah Bidang Tarjih dan Tajdid, Yunahar Ilyas, mengatakan, kriteria yang terpenuhi dalam penetapan Syawal, yakni ijtimak terjadi pada Kamis 16 Juli 2015 pagi sekira pukul 08.26 WIB. Terbenam matahari di Yogyakarta pada saat itu adalah pukul 17.37 WIB.
Umur bulan saat saat penetapan baru sembilan jam 10 menit. Sementara pada hari itu bulan baru terbenam pukul 17.50 WIB, tertinggal 13 menit dari matahari.
“Saat matahari terbenam, bulan belum terbenam, jadi hilal sudah wujud,” ujar Yanuar beberapa waktu lalu. Seperti dilansir okezone.
Demikian dengan penetapan Zulhijah 1436 Hijryiah jatuh pada Ahad 14 September nanti, hari Arofah (9 Zulhijah) jatuh pada Selasa 22 September 2015, dan Hari Raya Idul Adha (10 Zulhijah) jatuh pada Rabu 23 September 2015.
Yunahar berpendapat, kemungkinan terjadi kesamaan penetapan lebaran Idul Fitri antara Muhammadiyah, NU, dan pemerintah. “Ada satu dua kelompok kecil yang berbeda,” katanya.
Disinggung soal sidang Isbat penetapan syawal yang akan digelar Kementerian Agaman nanti, Yunahar mengatakan Muhammadiyah akan hadir jika sidang isbat dilakukan secara tertutup. Muhammadiyah, kata dia, menghormati perbedaan.
Sementara itu, Kepala Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (LAPAN) Thomas Djamaluddin menyatakan tahun ini ada dua kalender untuk penetapan Idul Fitri tahun ini.
“Kalender Muhammadiyah 17 Juli, NU juga tangga 17 (Juli). Kalau Persis (Persatuan Islam), 18 Juli,” ujarnya saat dikonfirmasi kemarin (7/7). Seperti dilansir jpnn.
Djamal menjelaskan, pada dasarnya 16 Juli mendatang hilal sudah di atas ufuk, bahkan dengan ketinggian di atas dua derajat. Dengan kondisi tersebut, kalender Muhammadiyah dan NU pun sama-sama menetapkan tanggal 16 sudah wujudul hilal sehingga Idul Fitri jatuh pada 17 Juli.
Namun, menurut dia ketinggian hilal tersebut masih di bawah 3 derajat. “Ketinggain hilal di bawah 3 derajat itu mustahil bisa dirukyat secara astronomi,” terang pria kelahiran Purwokerto itu.
Sehingga, potensi gagal rukyat bisa saja terjadi. Kalau gagal rukyat, dalam sidang isbat bisa terjadi perdebatan apabila muncul opsi Ramadan digenapkan 30 hari.
Sedangkan, Persis menetapkan Syawal jatuh pada 18 Juli karena punya kriteria yang berbeda pula. Yakni, hilal sudah harus setinggi 4 derajat. Posisi bulan pada 16 Juli belum memenuhi syarat tersebut, sehingga Syawal ditetapkan 18 Juli. Dengan demikian, peluang perbedaan pandangan saat sidang isbat 16 Juli mendatang masih akan ada.
Djamal mengingatkan Muhammadiyah agar tidak mudah mengklaim bahwa ormas tersebut menggunakan metode astronomi dalam menetapkan awal Ramadan maupun Syawal. Sebab, baik NU maupun Persis juga menggunakan metode astronomi. Hanya saja, kriteria yang digunakan berbeda.
Alumnus ITB itu meminta ormas-ormas Islam agar segera bersepakat menggunakan otoritas tunggal dalam menetapkan Ramadan dan Syawal, yakni pemerintah. Hal itu harus dilakukan demi menciptakan kalender Islam yang mapan.
Ada tiga hal yang harus disepakati untuk mewujudkan kalender Islam mapan. Yakni, otoritas tunggal, kriteria, dan batas wilayah. Saat ini, baru batas wilayah yang telah disepakati, yakni NKRI. Untuk kriteria, saat ini masih terus diupayakan agar bisa sama. Tinggal otoritas tunggal yang belum padu karena masih ada otoritas pimpinan ormas.
“Kalau otoritasnya sudah tunggal, nanti saat penentuan Idul Fitri atau Idul Adha, walau kalendernya beda, itu keputusan pemerintah,” tambahnya.
Sebagai umat Islam tentu lebih bahagia jika lebaran bisa dilakukan bersama-sama. Tak memandang ormas Islam manapun. Karena bagaimanapun juga Islam adalah satu…..