JAKARTA (Panjimas.com) – Dalam pertemuan dengan ulama, habaib dan para tokoh delegasi dari berbagai Omar Islam di kantor Kementerian Agama, inilah jawaban Menteri Agama RI, Lukman Hakim Saefudin, terkait qira’at langgam Jawa.
Di depan forum, Menag mengaku bersyukur atas masukan, aspirasi, dan tanggapan dari para ulama terhadap persoalan ini sebagai wijud saling menasihati terhadap sesama muslim.
Sebelumnya, Menag juga memberikan klarifikasi tentang isu dirinya memakan daging babi dalam upacara adat bakar batu di pedalaman Papua. “Saya tidak makan babi, saya hanya makan sayuran,” kata Menag.
Selain itu juga disinggung persoalan atas nasib pengungsi muslim Rohingya di Tanah Air. “Kami sudah sampaikan ke Presiden agar pengungsi Rohingya mendapat santunan. Termasuk upaya menempatkan anak yatim Rohingya ke 12 pesantren di beberapa wilayah Indonesia.”
Memang ada wacana, Islam dan budaya yang melekat, namun Islam dan budaya tidak bisa dicampuradukkan. Jika budaya diciptakan oleh manusia, sedangkan Islam dari Allah
Langgam Jawa
Terkait ricuhnya qiraat langgam Jawa, Menag menyatakan maaf yang sebesar-besarnya atas kegaduhan yang terjadi di masyarakat.
Menag tidak menyangka permasalahan ini menjadi ramai dan menimbulkan pro kontra. Termasuk anggapan dirinya melakukan jawanisasi dan melecehkan Islam.
“Memang ada wacana, Islam dan budaya yang melekat, namun Islam dan budaya tidak bisa dicampuradukkan. Jika budaya diciptakan oleh manusia, sedangkan Islam dari Allah.”
Kenapa harus langgam Jawa? Menag menuturkan kronologisnya. Saat itu berlangsung Penutupan Musabaqah Hafalan Al Qur’an tingkat Internasional (Asia Pasific), tepatnya pada 26 Maret 2015 lalu.
“Sebelumnya qiraat langgam Jawa sudah pernah diperdengarkan di Istana Wapres yang dihadiri oleh qari qari internasional. Termasuk imam masjid Nabawi.”
Sebagai manusia biasa, saya terus bertobat. Saya khilaf. Saya hanya ingin umat Islam dan bangsa Indonesia bersatu. Juga tidak ada niatan saya untuk ngeles atau lempar tangan. Saya tulus minta maaf dan beristighfar. Saya tidak punya kepentingan atas diri saya sendiri
Diakui Menag, sebagian juri yang hadir, mengaku kaget mendengar qiraat yang dilantunkan dengan langgam Jawa. Menag bahkan mendengar tanggapan dari juri musabaqah itu, bacaan itu sulit disalahkan, hanya saja terdengar aneh.
“Jujur, ini murni ide saya. Ketika itu saya menilai ada sesuatu yang khas dari Islam yang ada di Nusantara, kebetulan saja langgam Jawa. Saya bahkan sudah mengkonsultasikannya pada guru besar IIQ. Sehingga saya merasa sudah cukup, ” ujarnya.
Yang jelas, lanjut Menag, tidak ada niatan dirinya untuk melecehkan Al Quran atau Islam. Juga tidak ada niat untuk memecah belah umat Islam. “Naudzubillah min dzalik,” tandasnya.
“Sebagai manusia biasa, saya terus bertobat. Saya khilaf. Saya hanya ingin umat Islam dan bangsa Indonesia bersatu. Juga tidak ada niatan saya untuk ngeles atau lempar tangan. Saya tulus minta maaf dan beristighfar. Saya tidak punya kepentingan atas diri saya sendiri,” kata Menag dengan mata berkaca kaca.
Sekali lagi, ungkap Menag, ini karena ketidaktahuannya. Ia tidak mengira ada ulama yang mengharamkan qiraat dengan langgam Jawa. “Itulah sebabnya perlu mudzakarah, dan saya serahkan permasalahan ini pada ahlinya (ulama),” tukas Menag. [Desastian]