JAKARTA (Panjimas.com) – Mungkin hal ini adalah kejadian yang pertama kali dalam sejarah Indonesia. Dalam peringatan Isra’ Mi’raj 1436 H di Istana Negara, atau Istana yang digunakan Presiden Joko Widodo (Jokowi) pada Jum’at (15/5/2015) malam ada sesuatu yang berbeda dalam pembacaan tilawah Al-Qur’an.
Pembacaan Al-Qur’an yang biasanya dilantunkan sesuai dengan kaidah Islam baik dari segi tajwid dan logat Arab, namun dalam peringatan Isra’ Mi’raj 1436 H di Istana Negara itu dilantunkan dengan lagu Dandang Gulo atau langgam jawa.
Hal inipun mendapat tanggapan, kritikan dan kecaman dari sejumlah pihak. Bahkan cara membaca Al-Qur’an yang dikatakan Menteri Agama (Menag), Lukman Hakim Syaifuddin sebagai Langgam Nusantara itu dianggap sejumlah tokoh Islam sebagai bentuk pelecehan terhadap Islam.
“Cara baca Al-Qur’an seperti yg di lakukan di Istana Negara saat acara Isra’ Mi’raj kemarin tidak boleh terjadi lagi dan harus dihentikan,” tegas Dr Ahmad Annuri MA, Doktor dibidang Al-Quran Departemen pengkaderan Dewan Da’wah Islamiyyah Indonesia (DDII) Pusat pada Sabtu (16/5/2015).
Dr Ahmad mengatakan bahwa hal itu termasuk Takalluf atau memaksakan untuk meniru lagu yang tidak lazim dalam membaca Al-Qur’an, dan yang paling fatal ketika ada kesalahan niat. Yaitu merasa perlu menonjolkan citra rasa lagu kenusantaraan atau ke-Indonesiaan dalam membaca Al-Qur’an, membangun sikap Hubbul Wathoniyyah yang salah, seolah bahwa lagu Nusantara untuk baca Qur’an adalah sesuatu yang layak dan sah-sah saja.
Selain itu, cara membaca Al-Qur’an yang dilantunkan di Istana Negara oleh Muhammad Yaser Arafat dari UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta tersebut juga bisa merusak kelaziman dalam membaca Al-Qur’an.
“Sementara cara baca Al-Qur’an seperti itu akan merusak kelaziman. Muncul sebuah pertanyaan, bagaimana kalau lagu kebangsaan Indonesia saat acara kenegaraan diganti dengan langgam atau irama suku Jawa atau suku yang lain? Apakah orang Indonesia terima?,” tanyanya. [GA]