JAKARTA (Panjimas.com) – Ratusan Rohingya yang terdampar di perairan Selat Malaka, Aceh Utara hari Minggu lalu (10/05) ternyata hanya sebagian dari ribuan Rohingya yang melarikan diri bersama-sama dari tanah kelahirannya di Arakan, Myanmar. Mereka diketahui mencoba keluar dari Myanmar karena adanya upaya pembersihan etnis yang telah berlangsung selama puluhan tahun yang dimotori oleh gerakan 969, yang dipimpin oleh Biksu Wirathu dan didukung oleh pemerintah Myanmar.
Informasi yang diterima dari salah seorang Rohingya yang terdampar di Aceh Utara mengatakan bahwa mereka berupaya menyelamatkan diri menuju Malaysia dengan menggunakan perahu. Mereka menempuh perjalanan selama 3 bulan hingga akhirnya terdampar dan diselamatkan oleh nelayan Aceh di Selat Malaka. 34 Rohingya dikabarkan tewas dalam perjalanan laut tersebut. Ratusan Rohingya lainnya saat ini ditampung di rumah-rumah warga, di mushola-mushola, dan di pesatren-pesatren sekitar di Aceh Utara.
Berita eksodus Rohingya secara masif dari Myanmar memang sedang mengemuka di media-media internasional dan telah menyita perhatian masyarakat Internasional. Bahkan isu yang dimunculkan, negara-negara seperti Thailand, Malaysia, dan Indonesia dikabarkan telah melanggar Hukum Internasional dengan mengusir balik kapal-kapal Rohingya tersebut. Koordinator Advokasi Pengungsi dari SNH Advocacy Center, Heri Aryanto mengatakan bahwa menurut ketentuan Hukum yang telah berlaku secara Internasional, Rohingya yang mencoba menyelamatkan diri dari Arakan statusnya adalah sebagai Pencari Suaka. Oleh karenanya menurut Heri negara manapun dilarang untuk mengusir balik Rohingya kembali ke laut, apalagi menyuruh mereka kembali ke Myanmar. “Sungguh sebuah pelanggaran HAM dan pelanggaran prinsip non-refoulement apabila terbukti Thailand, Malaysia, dan Indonesia mengusir balik Rohingya”, tegasnya.
Prinsip non-refoulement yang berlaku secara internasional memang menegaskan bahwa suatu negara tidak diperbolehkan mengirim kembali seseorang ke negara asal, tempat situasi dimana penganiayaan mungkin terjadi. Tidak hanya itu, prinsip ini juga melarang pengiriman ke negara lain yang berpotensi menimbulkan penganiayaan baru. “Mau tidak mau dan suka tidak suka kita sudah terikat hukum internasional, jadi kita harus memperlakukan secara baik Rohingya yang mencari suaka ke Indonesia”, imbuhnya.
Lanjut menurut Heri, bahwa eksodus Rohingya secara masif dari Myanmar merupakan bukti bahwa pemerintah Myanmar telah mengabaikan hak-hak Rohingya sebagaimana diamanatkan Dekralasi Universal Hak Asasi Manusia tahun 1948. Bahkan, Myanmar secara terang-terangkan mengabaikan Resolusi PBB untuk mengakui hak kewarganegaraan penuh Rohingya. Disamping itu menurutnya, penindasan yang dilakukan terhadap Rohingya telah menimbulkan implikasi baru, yaitu munculnya perdagangan dan penyelundupan orang. Solusi untuk menghentikannya adalah dengan menekan Myanmar baik dalam forum bilateral maupun ASEAN, untuk segera mengembalikan hak-hak kewarganegaraan Rohingya secara penuh. “Indonesia sebagai negara yang disegani Myanmar harusnya bisa menekan Myanmar, kalau mereka nggak mau, Indonesia tuntut mundur saja Myanmar dari jabatan Ketua ASEAN”, pungkasnya. [AW]