JAKARTA (Panjimas.com) – Sudah menjadi rahasia umum bahwa dalam kasus terorisme, terduga selalu disodori pengacara pilihan dari Densus 88. Para terduga pun kesulitan menunjuk pengacara lain yang dikehendaki, pasalnya selama 7 x 24 jam mereka tak boleh dibesuk.
Menyikapi hal itu, Guru Besar Hukum Pidana Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta, Prof Dr Mudzakir SH MH menyatakan telah terjadi penyimpangan dalam praktik penerapan Undang Undang Terorisme di lapangan.
“Itu tehnik penyimpangan yang terjadi di lapangan. Prinsip asasnya, seorang tersangka berhak untuk menunjuk seseorang sebagai pengacaranya. Hak mereka memilih pengacara yang dapat dipercaya,” kata Prof Dr Mudzakir SH MH di kantor MUI Pusat, Jalan Proklamasi No. 51, Menteng Jakarta Pusat pada Selasa (12/5/2015).
Menurutnya, Densus 88 yang kerap mengatur pengacara untuk mendampingi terduga terorisme, merupakan pelanggaran HAM.
“Mereka bisa mengatur pengacara yang bisa mendampingi, ini juga melanggar HAM,” ujar pakar hukum pidana tersebut.
Mudzakir menambahkan bahwa seharusnya orang yang ditangkap diberikan kebebasan untuk didampingi pengacara yang dikehendaki, bukan malah memaksakan pengacara tertentu yang disediakan aparat kepolisian.
“Jadi kalau mereka dipaksa menggunakan pengacara tertentu itu melanggar asas,” tegasnya.
Untuk itu, ia mendesak aparat kepolisian dalam hal ini Densus 88 memberikan akses bagi terduga kasus terorisme, untuk bisa memilih pengacara.
“Kalau sudah ada pengacara yang ditunjuk itu tidak boleh diganggu siapa pun karena itu haknya tersangka yang harus dihormati,” ucapnya.
Demikian pula, pengacara yang ditunjuk Densus 88, namun di sisi lain tak dikehendaki oleh terduga, seharusnya malu dan ia bisa menolak.
“Jadi kalau mereka disodori pengacara tertentu, seharusnya malu pengacara yang bersangkutan dan jangan mau juga,” tuturnya.
Sebab jika hal itu terus dipaksakan, ada atau tidaknya pengacara sebagai pembela sama saja dan menjadi sekedar formalitas.
“Kalau itu tidak berdasarkan kesepakatan, itu kan berarti pengacara itu hanya formalitas saja,” tandasnya.
Untuk diketahui, lima tahun lalu Tim Pengacara Muslim (TPM) pernah menggelar Tabligh Akbar “Pengukuhan Tim Pengacara Muslim” Ahad pagi 25 April 2010, pada pukul 09:00 WIB yang bertempat di Kampus Universitas Al Azhar Lantai 3 Kebayoran Baru Jakarta Selatan.
Acara Pengukuhan Tim Pembela Muslim hari ini sekaligus mendeklarasikan dibukanya cabang TPM di hampir seluruh wilayah Indonesia. Beberapa perwakilan TPM daerah yang dibentuk hadir pada hari ini untuk selanjutnya dilantik oleh bapak Mahendradatta dan Ahmad Mihdan.
Dalam kesempatan tersebut, seperti dilansir Muslimdaily.net, Mahendradatta juga menyebutkan bahwa saat ini terdapat “Tim Pembela Muslim Palsu” yang juga sedang bekerja “membela” para tersangka terorisme yang saat ini sedang menghadapi sidang. Namun dari keterangan para terdakwa kasus terorisme, mereka mengatakan kecewa terhadap kerja “Tim Pembela Muslim Palsu” tersebut. TPM Palsu yang disebut Mahendradatta ini adalah pengacara yang mengaku berasal dari TPM Palu bernama Asludin Hatjani SH. Mahendradatta mengatakan ia tidak kenal dengan nama Asludin ini, dan beliau menantang jika Asludin berani silahkan datang pada acara hari Ahad tersebut untuk mendeklarasikan “TPM” versi dia, jika berani. Dalam sebuah acara dialog yang ditanyangkan di Metro-TV beberapa waktu lalu, Ahmad Mihdan pernah menyinggung mengenai para pengacara “yang dipasang” pihak-pihak kepolisian dalam hal ini Densus 88, tak lain yang dimaksud Ahmad Mihdan adalah TPM Palsu tersebut. [AW]