JAKARTA (Panjimas.com) – Pakar Hukum Pidana, Prof Dr Mudzakir SH MH menyampaikan hal mengejutkan terkait fenomena penangan terorisme di Indonesia dari aspek hukum.
Menurut Guru Besar Hukum Pidana Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta itu, rumusan terorisme dalam Undang Undang No 15 Tahun 2003 itu sangat multi tafsir.
“Rumusan terorisme itu bisa ditafsirkan terhadap apa saja yang dianggap menimbulkan rasa takut kepada masyarakat, yang di situ ada kata-kata ‘rasa takut secara luas’ apa kriteria rasa takut? Jadi itu bisa siapa saja, bisa apa saja yang dilakukan, terutama subjeknya adalah orang Islam,” kata Prof Dr Mudzakir SH MH di kantor MUI Pusat, Jalan Proklamasi No. 51, Menteng Jakarta Pusat pada Selasa (12/5/2015).
Rumusan terorisme itu bisa ditafsirkan terhadap apa saja yang dianggap menimbulkan rasa takut kepada masyarakat, yang di situ ada kata-kata ‘rasa takut secara luas’ apa kriteria rasa takut? Jadi itu bisa siapa saja, bisa apa saja yang dilakukan, terutama subjeknya adalah orang Islam
Apalagi dalam prakteknya di lapangan, terjadi diskriminasi, seolah Undang Undang Terorisme itu hanya diberlakukan bagi umat Islam.
“Jika ada perbuatan yang sama yang dilakukan oleh orang lain, itu pasti bukan terorisme. Tapi kalau perbuatan yang sama dilakukan oleh orang Islam itu terorisme, ini yang terdiskriminasikan di sini,” ungkapnya.
Berdasarkan realita tersebut, Mudzakir menegaskan bahwa ternyata Undang Undang Terorisme jauh lebih berbahaya ketimbang Undang Undang Subversi di zaman Orde Baru yang kini telah dicabut.
Kita berjuang supaya Subversi dihapuskan; Undang No 11 Tahun 1963, tapi muncul Undang Undang Terorisme yang lebih dahsyat daripada yang disana
“Kita berjuang supaya Subversi dihapuskan; Undang Undang No 11 Tahun 1963, tapi muncul Undang Undang Terorisme yang lebih dahsyat daripada yang disana, ini yang membingungkan! Ini gimana? Tadi saya katakan reformasi lebih buruk daripada sebelum reformasi itu, salah satu contohnya adalah masalah terorisme,” jelasnya.
Untuk itu, Mudzakir mendesak kepada DPR dan Presiden RI, Joko Widodo untuk tidak membuat kebijakan yang merugikan umat Islam, diantaranya dengan menyetujui revisi Undang Undang Terorisme.
“Jadi pak Jokowi jangan sekali-sekali mentoleransi, jangan ada tanda tangan untuk mengubah Undang Undang itu menjadi lebih buruk daripada Undang Undang Subversif dan juga jangan dikembalikan seperti Undang Undang yang dulu,” tegasnya. [AW]