JAKARTA (Panjimas.com) – Maraknya kasus dan praktek pelacuran via online yang muncul ke permukaan memperlihatkan bahwa saat ini bisnis haram tersebut sudah masuk ke dalam ranah internet dan media sosial, bahkan sudah berada dalam tingkat tinggi karena para pelacurnya berasal dari kalangan artis.
Menurut Pimpinan Lembaga Riset Communication & Information System Security Research Centre (CISSReC), Pratama Persadha, pemerintah sudah saatnya memperkuat UU ITE dengan aturan yang dikhususkan untuk memberantas prostitusi online.
Pasalnya hingga kini, pelacuran via online tersebut terus saja terjadi dan bahkan semakin marak karena tidak adanya larangan secara tegas didalam UU ITE untuk menjerat dan menindak para pelaku tersebut.
“Indonesia kan hingga saat ini belum mempunyai aturan hukum yang secara eksplisit mengatakan prostitusi online itu dilarang,” ungkap Pratama pada Senin (11/5/2015).
Menurutnya, UU ITE Pasal 27 Ayat 1 belum bisa menyanggupi untuk menindak kasus pelacuran dalam jaringan. Lebih lanjut ia menjelaskan, pasal tersebut hanya mengatur mengenai distribusi dan transmisi informasi elektronik yang memiliki muatan konten pelanggaran asusila.
“Kasus prostitusi online ini tak hanya memuat konten asusila saja, tapi pada prakteknya sudah ada transaksi prostitusi sesudahnya,” jelas Pratama.
Selain itu, Pratama juga menilai UU KUHP Pasal 296 jo. Pasal 506 juga masih lemah untuk menjerat praktek pelacuran online. Menurutnya, pasal tersebut hanya bisa menjerat pengguna para pelacur, pelacur itu sendiri, dan penyedia pelacur saja belum mengurusi pelacuran secara online.
Oleh karena itu, ia berharap UU ITE harus direvisi dahulu supaya kuat dalam menjerat pelaku pelacuran via online. “Kalau germonya pinter dia bisa nggak tertangkap karena pembuktiannya pasti berbeda. Bukti yang ada di media internet juga akan lemah,” tandas Pratama. [GA/ROL]