SEMARANG (Panjimas.com) – Ilmu forensik adalah ilmu yang berkutat pada visum dan autopsi mayat. Namun seorang perwira polisi mampu mensinergikan ilmu forensik dengan sejumlah ayat yang ada dalam kitab suci Al-Qur’an. Subhanallah…. Seperti apa hal tersebut?
Ya, dia adalah Aiptu Wazir Arwani Malik, seorang Penyidik Direktorat Reserse Kriminal Umum (Ditreskrimum) Polda Jawa Tengah (Jateng). Perwira yang kesehariannya berkutat di dunia forensik ini mampu mengaplikasikan ayat Al-Qur’an saat melakukan olah TKP terhadap mayat.
Pria yang lahir dan dibesarkan oleh keluarga santri di Ponpes Girikusuma, Mranggen, Demak, Jateng itu kerap mengaplikasikan Surat Yasin ayat 12 dalam tugas forensiknya. Menurutnya pendekatan teologis dalam hal autopsi sangat membantunya dalam memecahkan persoalan forensik yang kerap menjadi tanda tanya.
Apalagi, saat ia harus memecahkan suatu kasus, seperti mayat yang tidak diketahui identitasnya.
“Ilmu forensik itu sudah dibahas dalam Al-Qur’an sejak 1.400 tahun lalu. Dalam surat Yasin termaktub, apa yang pernah menjadi perbuatan manusia pasti meninggalkan jejak. Itu yang jadi pedoman saya,” terang Aiptu Wazir di Semarang, pada Rabu (6/5/2015).
Dalam keyakinannya, tidak ada perbuatan manusia yang tidak meninggalkan jejak. Bahkan suatu benda yang mati bisa berbicara, seperti darah, potongan tubuh, DNA, rambut, pisau bahkan HP. “Melalui sistem labfor, polisi bisa menggali dalam pengungkapan perkara,” papar pimpinan Ponpes Al-Hadi Mranggen Demak itu.
Aspek teologi melalui penafsiran Al-Qur’an ini, kata Wazir, sudah tertulis pasti sejak manusia lahir sampai mati. “Jadi barang bukti itu titik sentral, akan berguna bagi hakim di pengadilan, penyidik, pelaku dan lain-lain, ” ujar bapak tiga anak itu.
Dasar itulah yang membuat Wazir selalu tekun dan penuh kesabaran saat bertugas. Karena menurutnya, Al-Qur’an bukan sebagai alat ritual saja, melainkan pedoman seluruh aspek kehidupan. Tak jarang, dalam setiap aktivitas forensik yang sulit, Wazir selalu mendoakan jasad korban, meski masih berupa tulang rambut bahkan organ lain.
“Al-Qur’an itu bukan untuk diritualkan, tapi untuk petunjuk, di antaranya pengungkapan perkara seperti tugas seorang polisi. Orang yang saya autopsi saya doakan. Doa itu etika, agar nanti Tuhan beri petunjuk, ” beber pria kelahiran Demak, 28 Februari 1968 silam itu.
Bentuk petunjuk dan kemudahan itu bervariatif. Sumber informasi awal bisa diperoleh dari tempat kejadian perkara, misalnya barang yang tertinggal, dari peluru atau lainnya.
Saat berdoa, jelas Wazir, bukan mengirimkan permintaan, namun menyampaikan supaya orang yang belum diketahui identitasnya itu diampuni dosa-dosanya dan ditempatkan di tempat yang layak. “Kalau jenazah tanpa identitas, jumlahnya sekira belasan,” tambahnya.
Di dalam keluarga, Wazir mengungkapkan jika putra putrinya sudah terbiasa dengan tugasnya sebagai polisi. Bahkan, ketiga anaknya sering melihat foto-foto saat autopsi.
“Anak-anak sering buka laptop saya. Mereka tahu dan itu menjadi proses pembelajaran untuk mengetahui tentang anatomi manusia. Dengan harapan mereka bisa mengenal diri, kemudian Tuhannya,” bebernya. [GA/viva]