JAKARTA (Panjimas.com) – Majelis Ulama Indonesia (MUI) akan membahas mengenai janji-janji kampanye yang tidak ditepati oleh para pemimpin Indonesia dalam forum ijtima’ atau pertemuan akbar ulama se-Indonesia medio Juni 2015 mendatang. Para ulama menganggap sebuah janji merupakan amanah yang harus dijalankan.
Juru Bicara Hizbut Tahrir Indonesia (Jubir HTI), Muhammad Ismail Yusanto menyebut HTI mendukung langkah MUI yang akan melakukan pengkajian hukum bagi pemimpin yang tidak melaksanakan janji-janji yang diumbar saat masa kampanye.
Sebab menurut Ismail, merealisasikan janji juga menjadi tolak ukur apakah pemimpin tersebut tergolong kepada orang yang beriman atau tidak.
“Setiap janji itu harus ditepati, salah satu ciri orang yang bertaqwa dan beriman itu adalah orang yang menepati janji. Ini sesuai dengan ketentuan syari’ah,” ujar Ismail, pada Jum’at (1/5/2015).
Kondisi dan realita yang marak terjadi saat ini, lanjut Ismail, justru lebih parah lagi. Para pemimpin yang dipilih oleh rakyat dinilainya tidak hanya ingkar terhadap janji-janji kampanyenya, namun juga tidak menunaikan kewajiban yang harus dilaksanakan layaknya sebabai seorang pemimpin kepada rakyatnya.
Selain harus menaati janji, para pemimpin yang sesuai syari’ah haruslah menunaikan kewajiban untuk amanah, tidak melanggar aturan agama, tidak dzalim dan tidak melakukan perbuatan-perbatan tercela seperti korupsi dan manipulasi. Namun kenyataannya, banyak sekali pemimpin di Indonesia yang hanya mengejar ambisi kekuasaan dan kekayaan untuk pribadi dan kelompok.
“Hal-hal yang wajib dilaksanakan saja mereka tidak laksanakan, apalagi janji-janji yang sekian banyak itu,” tandas Ismail.
Dalam Islam, memang para pemimpin di masyarakat disebut sebagai ulil amri. Akan tetapi bila tidak menaati ketentuan yang harus dilakukan sebagai seorang pemimpin, maka predikat ulil amri pun tidak akan pantas untuk disematkan kepada pemimpin tersebut. Dalam agama, jelas Ismail, rakyat tidak perlu untuk tunduk kepada pemimpin yang bukan golongan ulil amri tersebut.
“Ulil amri itu berada di kalangan orang beriman, dan mewujudkan keimanan itu dalam kepemimpinan. Ia harus amar makruf nahi mungkar, bila tidak lakukan itu, maka predikat ulil amri itu tidak layak untuk disandang. Maka kita tidak layak untuk ditaati,” tegasnya. [GA/ROL]