JAKARTA (Panjimas.com) – Mantan staf ahli Panglima TNI, Brigjen TNI (Purn) Adityawarman mengungkapkan banyak yang belum memahami sepak terjang Komunis Gaya Baru (KGB) saat ini.
Ia pun mengisahkan bagaimana sadisnya PKI yang melakukan pembantaian di mana-mana. Di Solo, yang dulu pernah menjadi basis PKI, Adityawarman menyebut pernah terjadi banjir darah korban keganasan PKI. (Baca: Indonesia Darurat Komunis, Mantan Staf Ahli Panglima TNI: Situasi Kita Hampir Sama dengan Tahun 1965)
“Komunis ini lahir dari ajaran kebencian dan kekejaman, Bang Taufik Ismail mengatakan jutaan nyawa melayang ketika Komunis ini tumbuh, bangkit dan berkembang,” kata Brigjen TNI (Purn) Adityawarman Thaha dalam Pengajian Politik Islam (PPI) yang digelar di Masjid Agung Al-Azhar, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan, pada Ahad (12/4/2015).
Namun demikian, ada hal lain yang masih disembunyikan sejarah, yakni pembantaian para ulama oleh PKI.
“Tidak pernah diangkat bagaimana kyai-kyai, ulama-ulama di Jawa Timur itu, dibantai, dikubur hidup-hidup, baik tahun 1948 maupun tahun 1965,” ungkapnya.
Begitu pintarnya para kader Komunis dan pendukungnya, hingga mereka bisa mempengaruhi dan menyembunyikan sejarah.
Adityawarman mendeteksi, bahwa KGB terus bergerak. Bahkan mereka menggelar berbagai seminar atau diskusi.
Pada tanggal 22 Februari 2015 yang lalu, digelar hari ulang tahun Yayasan Penelitian Korban Pembunuhan (YPKP) 1965-1966 di sebuah kafe di Kota Bukittinggi, Sumatera Barat.
Hadir dalam acara tersebut, Pengacara KPK, Nursyahbani Katjasungkana, Ketua YPKP 65-66 Bejo Untung, Komisioner Komnas HAM Nur Khoiron, Ketua Lembaga Perlindungan Saksi Korban AH Semendawai, Komisioner Komnas Perempuan Soraya Kamaruzzaman, dan Feri dari Kontras.
Namun, belum sempat berlangsung, warga Kelurahan Bukik Cangang Kayu Ramang, Kecamatan Guguak Panjang, Kota Bukittinggi, mengusir paksa mereka dari sebuah Kafe tempat berlangsungnya acara milik Ketua YPKP Sumbar, Nadiani. Warga mencium adanya aroma komunis yang bisa merongrong NKRI.
“Sekarang ini mereka bergerak lebih jauh. Di Bukit Tinggi tanggal 22 Februari berkumpullah di situ Bejo Untung, Nursyahbani Katjasungkana mereka itu dari Yayasan Penelitian Korban Pembunuhan (YPKP) 1965-1966, itu keliling Indonesia. Kemudian ada dari Komnas HAM, Nur Khoiron. Itu yang mencoba keliling Indonesia untuk membangun nuansa Komunisme,” jelasnya.
Selain itu, Adityawarman juga mengungkapkan bahwa Komunis telah menggelar kongres di Cianjur Selatan.
“Saya juga sudah diberitahu bahwa mereka sudah berkongres di Cianjur Selatan, mereka sudah memperbaiki lagi organisasi partai Komunis, ketuanya umur 37 tahun, Sekjennya umur 35 tahun, jadi (seolah, red.) satu istilahnya Aidit, satu Nyoto. Itu ada mereka, bergerak mereka sekarang,” ujarnya.
Namun menurut Adityawarman, KGB memiliki cara baru dalam melakukan kamuflase gerakan komunis.
“Tidak mudah kita mengenal mereka, mereka kadang-kadang lebih agamis daripada kita yang agamis. Dan mereka tidak lagi menggunakan cara-cara tahun 1945 dan tahun 1965 yang menampilkan fisik dan kekuatan, tetapi mereka beradaptasi menyelusup lewat aturan-aturan, lewat konstitusi,” imbuhnya.
Di sisi lain, kader-kader komunis juga melakukan propaganda dengan berbagai cara, diantaranya melalui pemutaran film, seperti yang akhir-akhir ini beredar di kalangan mahasiswa, film berjudul ‘Senyap”.
“Mereka bikin film-film dokumenter yang disebarkan, ada yang namanya ‘Senyap’ dan macam-macam. Itu yang mereka putarkan. Apa yang mereka lakukan itu fitnah, adudomba, memutarbalikkan keadaan,” imbuhnya.
Hingga, yang paling berbahaya adalah dimana para kader komunis itu menyusup ke partai-partai.
“Mereka memegang teguh tujuan dengan menghalalkan segala cara. Mereka memutarbalikkan sejarah, melemparkan opini isu PKI sudah tidak relevan, menuntut TNI, Ansor NU melakukan pelanggaran HAM berat. Mereka menyusup ke partai-partai yang mungkin kita semua mengetahui, partai mana saja yang mereka sudah susupi, sama dengan tahun 1966 yang lalu,” tutupnya. [AW]