JAKARTA (Panjimas.com) – Kemenkominfo akhirnya membuka kembali akses publik untuk 12 dari 19 situs media Islam yang sebelumnya diblokir karena dituduh bermuatan radikal. Pemblokiran secara sepihak itu didasari atas permintaan Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT).
Meski telah dibuka kembali, namun pemblokiran 19 situs media Islam yang ramai dibicarakan akhir-akhir ini dinilah telah melanggar Undang-Undang Hak Cipta (UUHC). Hal itu dikatakan oleh pakar hukum dari Advocate Safe Law Firm, Abdu Salam pada Diskusi Terarah di University Club UGM, pada Jum’at (10/4).
“Situs juga merupakan bagian dari hak cipta yang dapat diperjuangkan. Bahkan kerugian secara materil dan imateril karena pemblokiran situs Islam dapat diperkarakan ke pengadilan dengan Undang-Undang tersebut,” jelas Abdu Salam. Adapun saat ini, pemblokiran tersebut terus dikaitkan dengan UU ITE dan UU Pers.
Abdu menjelaskan, pemblokiran atau pembredelan memang merupakan pelanggaran UU di era demokrasi sekarang. Hal ini dibenarkan oleh peneliti dari Pusham Universitas Islam Indonesia (UII), Puguh Indrawan. Bahkan menurutnya pelanggaran ini telah terjadi sejak 1971, dimana 52 penerbitan dibredel oleh pemerintah.
Selanjutnya tahun 1972 ada 30 penerbit yang dibredel. Tahun 1973 ada 32 penerbit, 1974 ada 73, 1981 ada 29, dan 1991 ada 36 penerbitan.
Namun begitu, Puguh meminta agar pengelola situs-situs tersebut mengedepankan aturan-aturan jurnalistik dalam membuat berita. Sehingga hal-hal seperti sekarang ini dapat dihindari. Sebab, saat ini banyak sekali situs yang hanya namanya saja.
Puguh menyayangkan sikap pemerintah yang seenaknya dalam membuka dan menutup situs media Islam. Dengan tuduhan radikal, mereka memblokir situs-situs media Islam. Padahal keriteria radikal sendiri tidak jelas. Hal ini tentu saja akan merugikan pihak-pihak terkait. Terlebih ketika isu radikal ini dinisbatkan pada lembaga organisasi yang eksis.
Sementara itu, Dosen Komunikasi Univeristas Negeri Yogyakarta (UNY), Fajar menyebut jika Hidayatullah sebagai salah satu pihak yang pasti memperoleh kerugian.
“Hidayatullah kan punya sekolah, perguruan tinggi, rumah sakit, dan lainnya. Bisa saja karena isu ini orang-orang tak mau lagi menggunakan jasa lembaga-lembaga Hidayatullah. Padahal Hidayatullah punya peran yang penting bagi bangsa ini,” ungkapnya.
Berdasarkan UU Pers Nomor 40 tahun 1999, pers tidak bisa dibredel karena ia merupakan wahana sosial dan komunikasi publik. Oleh itu, bagi situs manapun yang ingin menghindari pembredelan harus mengubah dirinya menjadi Badan Hukum Pers. Dengan cara mendaftarkan diri ke Dewan Pers. [GA/ROL]