JAKARTA (Panjimas.com) – Aktivis politik, Ahmad Lubis mengatakan bahwa Presiden Joko Widodo (Jokowi) lebih mengedepankan kepentingan pribadinya dengan tidak segera melaksanakan hukuman mati terhadap duo Bali Nine warga Australia yang terlibat peredaran narkoba kelas kakap di Indonesia.
“Kalau saya lihat berita-berita di Australia, dua warga Australia tidak jadi dihukum mati,” kata Lubis kepada intelijen, Kamis (26/3/2015).
Menurut Lubis, ancaman Australia terhadap Jokowi yang akan membongkar pembicaraannya saat Pilpres 2014 lalu membuat mantan Wali Kota Solo itu membatalkan hukuman mati. “Australia punya data penyadapan. Hal ini membuat Jokowi ketakutan. Maka ia meminta diplomat Indonesia untuk membicarakan masalah pembatalan hukuman mati,” ungkapnya.
Lubis menambahkan, dalam membatalkan hukuman mati ini, Jokowi menggunakan operasi senyap agar tidak diberitakan oleh media. Salah satunya adalah memunculkan isu Daulah Islam/Islamic State (IS/ISIS) dan perkataan kasar Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) disalah satu TV swasta.
“Maka dimunculkan isu ISIS, maupun isu lainnya termasuk Ahok yang bersuara keras dan kasar. Ahok itu teman akrab Jokowi. Saat menemui Ahok, Jokowi minta bantuan untuk menjalankan operasi senyap ini,” papar Lubis.
Lubis mengatakan, Jokowi sudah mengetahui, ponselnya sudah disadap pihak asing maupun lawan politiknya, maka ia menemui langsung pihak mana saja termasuk Ahok untuk menjalankan operasi senyap ini.
“Ahok ngomong kasar sampai menggunakan bahasa toilet itu bagian dari operasi senyap untuk mengalihkan pembatalan hukuman mati dua warga Australia. Anehnya setelah ngomong kasar itu Kompas TV menayangkan lagi, walaupun diedit, tetapi diperingatkan pihak KPI. Keterlibatan Kompas TV, Kompas Gramedia, Jokowi, Ahok jangan dianggap sepele. Ini Bagian dari operasi intelijen,” pungkasnya. [GA]