JAKARTA (Panjimas.com) – Issue kepergian 16 Warga Negara Indonesia (WNI) yang hilang di Turki dan dikabarakan bergabung dengan Daulah Islamiyyah/Islamic State (IS/ISIS) hingga kini terus dimainkan oleh media massa sekuler dan kalangan liberal sedemikian rupa seolah-olah mereka adalah seorang penjahat yang harus segera ditangkap dan ditahan.
Namun Wakapolri Komjen Pol Badrodin Haiti mengakui dan menegaskan bahwa pihaknya tidak bisa menangkap orang yang dididuga telah bergabung dengan IS/ISIS. Pasalnya, jelas Badrodin, hingga saat ini tidak ada Undang-Undang (UU) dan delik hukum yang menjadi dasar penangkapan.
“Memang secara hukum kita tidak punya instrumen untuk bisa melakukan penegakan hukum terhadap pengikut ISIS yang belum melakukan pelanggaran hukum,” jelas Badrodin di Mabes Polri, Jakarta, pada Selasa (17/3/2015).
Untuk itu, jendral bintang tiga yang diproyeksikan Presiden Jokowi menjadi Kapolri pengganti Sutarman ini mengatakan, pihaknya akan berkoordinasi dengan instansi lain yang dapat membantu Kepolisian mencegah penyebaran paham IS/ISIS di Indonesia.
Beberapa upaya yang saat ini tengah dilakukan adalah menyiapkan operasi yang bersifat kontraradikal dan Deradikalisasi seperti yang sudah dilakukan oleh Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT). Operasi itu ditujukan kepada orang-orang tertentu yang telah diidentifikasi sebagai pengikut atau pendukung IS/ISIS.
“Itu yang sudah kita lakukan, lalu kita juga melakukan pendekatan-pendekatan kepada ulama-ulama,” kata mantan Kapolda Sulteng yang disebut Komnas HAM terlibat dalam pelanggaran HAM dan pembantaian umat Islam di Poso pada tahun 2006-2007.
Kepolisian, lanjut Badrodin, juga mengidentifikasi adanya kegiatan-kegiatan bersenjata. Adapun intrumen hukum yang digunakan untuk menjerat mereka adalah Pasal 139 KUHP serta Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 Tentang Anti Terorisme. “Nah kalau yang seperti itu kita jerat dengan UU Anti Terorisme, termasuk juga Pasal 139 KUHP,” puskasnya. [GA/Lip6]