JAKARTA (Panjimas.com) – Koordinator Indonesian Crime Analyst Forum (ICAF), Mustofa B Nahrawardaya mengatakan, penyerangan brutal dan kejam yang dilakukan sekitar 40 orang gerombolan preman Syi’ah yang dipimpin oleh Habib Ibrahim Al-Habsyi terhadap perkampungan Muslim di kompleks Masjid Az Zikra Sentul Bogor pada Rabu (11/2/2015) malam sama sekali tidak ada kejanggalan.
Hal ini untuk menyangkal pendapat Direktur Eksekutif MAARIF Institute, Fajar Riza Ul Haq, sebagaimana dilansir Antara pada Kamis (12/2/2015). Fajar Riza Ul Haq mengatakan, terdapat kejanggalan dalam penyerangan sekelompok preman yang mengaku penganut Syi’ah ke kampung Majelis Az Zikra pimpinan KH Muhammad Arifin Ilham itu.
“Penyerangan intoleran semacam itu sudah sering terjadi. Hanya saja, kali ini pelakunya bukan dari kelompok mayoritas, namun justru dari kelompok pembela minoritas yang merasa dihina,” ujar Mustofa dalam siaran persnya kepada sejumlah media, termasuk kepada Panjimas.com pada Jum’at (13/2/2015).
Mustofa mengungkapkan alasan kenapa pihaknya beranggapan penyerangan tersebut tidak ada kejanggalan. Pertama, masyarakat Indonesia terlanjur dibiasakan oleh kondisi dan situasi, dimana ada stereotip bahwa biasanya yang menyerang adalah pihak mayoritas dan korbannya minoritas.
“Stereotip ini sangat berbahaya karena akhirnya menjadi kesimpulan publik yang sesat, seolah dalam sejarah hanya minoritas yang selalu menjadi korban kekerasan. Akibat yang lebih buruk barangkali, aparat cenderung terpengaruh karena kejadian minoritas menyerang mayoritas dianggap tabu. Bahkan akan dianggap sebuah kejanggalan. Padahal itu adalah fakta,” tegasnya.
Alasan kedua, menurut Mustofa adalah sangat mungkin memang yang terjadi di Az Zikra adalah kebalikannya. Alasannya pun logis. Hampir semua orang faham, kelompok minoritas dalam hal ini Syi’ah pada saat pemerintahan sekarang ini jelas sedang mendapatkan tempat dan peluang untuk berkembang dan mendapatkan perlindungan dari Negara. Meskipun, keberadaannya mendapatkan penolakan mayoritas umat dan tokoh Islam yang menegaskan bahwa Syi’ah sebagai aliran sesat sebagaimana fatwa MUI.
Dibanding pada masa pemerintahan sebelumnya, lanjut Mustofa, aliran-aliran sesat semacam Syi’ah, kini jelas sekali sedang mendapatkan angin segar berupa perlindungan Negara secara maksimal. Tidak hanya Syi’ah, tapi kelompok lain yang dulunya dianggap sesat, misalnya LDII, kini juga sedang menikmati masa kejayaannya. Eksistensi mereka, ada di atas angin saat Jokowi memimpin Indonesia.
“Ketiga, Kelompok Syi’ah beserta pendukungnya yang dianggap minoritas di Indonesia, kemungkinan sedang merasa kuat karena beberapa tokoh Syi’ah kini sedang berada di posisi strategis pejabat Negara. Ada yang menjadi anggota DPR, bahkan beberapa diantaranya bekerja di lingkungan orang-orang yang dekat orang nomor satu Indonesia.
“Beberapa tokoh Syi’ah yang berprofesi sebagai seniman, artis, dan tokoh publik lainnya, maupun ulama, sebagian sudah mulai berani keluar kandang untuk memperkenalkan dirinya sebagai Syi’ah. Padahal setahun lalu, mereka tidak berani menunjukkan batang hidungnya. Atau setidaknya meskipun belum berani mengaku Syi’ah, mereka ramai-ramai mendukung Pemerintahan yang mengayominya melalui berbagai cara. Ada yang membuat lagu, mengadvokasi, bahkan berusaha membelokkan opini publik seolah penyerangan itu tidak masuk akal,” ungkap Mustofa.
Sementara itu hal keempat kata Mustofa adalah jika dilihat dari kronologi yang dikeluarkan pihak kepolisian, jelas sekali bahwa massa yang berjumlah 38 orang, datang ke markas ustadz Arifin Ilham karena mempersoalkan adanya spanduk penolakan terhadap aliran sesat Syi’ah.
Jika berdasar kronologi itu, maka substansi penyerangan tersebut adalah soal hinaan kepada Syi’ah. Dengan demikian, penyerang datang ke TKP (Tempat Kejadian Perkara), BUKAN tanpa sadar, atau tanpa alasan. Mereka bergerombol “menyerbu” bahkan menganiaya salah seorang pengurus Mesjid Az Zikra, akibat adanya informasi melalui BBM dan WhatsApp (WA) adanya hinaan kepada Syi’ah melalui spanduk.
“Jadi, akibat merasa dihina, kelompok tersebut marah dan mencari pelaku penghinaan. Karena substansinya korban penghinaan, gerombolan preman ini tidak lagi berpikir minoritas mayoritas. Mereka hanya ingin memburu pelaku penghinaan. Dimana letak kejanggalannya? Tidak ada. Penyerangan di markas Arifin Ilham, adalah tindakan tidak terpuji kelompok intoleran,” kata Mustofa.
Alasan kelima adalah, banyak pihak menginginkan adanya saling toleransi antar kelompok. Tidak saling membenci diantara mereka. Namun harapan ini tampaknya akan sulit terwujud, jika aksi-aksi penyerangan semacam ini terus dilakukan. Harapan banyak pihak untuk tidak membenci Syi’ah, bisa luntur dengan cepat, “hanya” gara-gara aksi serangan ke markas ustadz Arifin Ilham.
Sementara yang keenam, menurut Mustofa, adanya satu catatan yang perlu disampaikan. Keberanian preman menyerbu markas ustadz Arifin Ilham pada malam hari pukul 23.00 hingga dinihari, bisa saja digerakkan oleh provokator yang paham betul situasi politik tanah air.
Jika tanpa didorong oleh provokasi yang serius, memang kecil kemungkinan mereka berani melakukan tindakan konyol itu. Siapa provokatornya? Banyak. Bisa jadi oknum di lingkungan Syi’ah, oknum di aparat penegak hukum, oknum di lingkungan intelijen, dan mungkin juga oknum yang bekerja pada orang dekat Jokowi.
“Sudah menjadi rahasia umum, Jokowi sangat dekat dengan beberapa bekas pentolan BIN. Kentalnya hubungan Jokowi dengan kalangan bekas intelijen, akhirnya menimbulkan spekulasi. Salah satu spekulasi yang beredar, bahwa penyerangan itu mungkin memang murni penyerangan. Tetapi juga ada spekulasi yang muncul, bahwa aksi penyerangan ini bagian dari operasi kontra intelijen. Wallahu a’lam bishawab,” pungkas Mustofa. [GA]