JAKARTA (Pajimas.com) – Begitu mudahnya konten pornografi menyebar di kalangan masyarakat dalam beberapa tahun belakangan ini di Indonesia berdampak langsung terhadap maraknya tindakan kekerasan seksual terutama kepada perempuan dan anak di bawah umur.
Pemerintah diminta membuat gebrakan dan terobosan yang komprehensif, salah satunya membentuk polisi siber dengan menggandeng masyarakat. Ini karena penyebaran konten pornografi paling masif via intenet dan telepon seluler (ponsel).
Anggota DPD RI Fahira Idris mengatakan, dari semua kasus kekerasan seksual, lebih 45 persen diantaranya adalah pelecehan seksual dan perkosaan terhadap anak termasuk sodomi, bahkan diantara pelaku juga masih ada yang anak-anak. Kebanyakan motif mereka melakukan kekerasan seksual karena terpengaruh oleh konten pornografi yang pernah mereka lihat terutama lewat internet dan ponsel.
“Ini sudah darurat. Perempuan dan anak lah yang paling banyak menderita akibat begitu mudahnya konten pornografi di dapat di negeri ini. Pemerintah baru ini, saya lihat belum ada gregetnya. Saatnya kita punya polisi siber,” ujar Fahira yang juga Wakil Ketua Komite III DPD yang bidang kerjanya antara lain perlindungan anak dan perempuan, agama, pendidikan, serta budaya ini di Komplek Parlemen Senayan Jakarta (09/02/2015).
Menurut Fahira penyebaran konten pornografi bisa dicegah jika saja pemerintah bisa menggandeng masyarakat terutama pengguna internet untuk bergerak bersama-sama memberantas konten atau situs porno sampai ke akar-akarnya. Pelibatan masyarakat menjadi penting, karena konten porno seperti jamur di musim hujan yang akan terus muncul.
“Pemerintah gandeng masyarakat, jadikan mereka polisi-polisi siber untuk memantau dan melaporkan jika ditemukan konten atau situs porno terutama di dunia maya. Saya rasa kalau paradigmanya perlindungan anak dan perempuan, masyarakat akan sukarela membantu,” ujar Ketua Yayasan Anak Bangsa Berdaya dan Mandiri ini.
Di satu sisi, pemerintah dalam hal ini kepolisian harus juga bisa bertindak cepat jika menemukan atau menidaklanjuti laporan masyarakat terkait konten porno. “Lacak IP Address-nya, identifikasi punya siapa dan siapa pengelolanya, tangkap, hukum berat agar jera. Untuk konten yang berasal dari luar, segera diblokir. Saya rasa Polri kita punya sumber daya yang mumpuni untuk melakukan ini. Masa kalah canggih sama pemilik dan pengelola konten porno,” ujar senator asal Jakarta ini.
Bahkan di Tiongkok, lanjut Fahira, pemerintahnya memberi hadiah bagi warganya yang secara aktif melaporkan dan melacak IP address situs porno. Di Indonesia, bisnis pornografi sudah menyasar anak dan remaja. Masyarakat wajib dilibatkan, karena selain ini persoalan bangsa, pemerintah juga tidak mungkin memberantasnya sendiri.
Selain itu, terobosan lain yang patut dilakukan adalah sanski yang tegas baik hukum maupun sosial bagi semua yang terkait dalam konten porno mulai dari pemilik/pengelola situs, pelaku, dan penyebarnya.
“Mereka harus dihukum maksimal, karena menjadi biang kejahatan seksual yang merusak masa depan akan-anak kita. Sementara untuk pelaku kekerasan seksual terutama kepada anak-anak, sejak awal saya sudah usul hukuman seumur hidup bahkan hukuman mati. Efek jera penting, agar mereka berpikir dua sebelum melakukan kejahatan ini. Kekerasan seksual apalagi terhadap anak adalah kejahatan kemanusian,” tegas Fahira.
Fahira menyarankan agar pemberantasan pornografi juga harus jadi gerakan nasional sama halnya dengan korupsi. Publik juga harus memberi sanksi sosial bagi mereka-meraka yang terlibat dalam pembuatan dan penyebaran pornografi yang merusak generasi muda.
“Jangan seperti sekarang, pelaku pornografi yang kebetulan publik figur, bisa senyum-senyum di layar kaca. Harus ada sanksi sosial, dan itu tugas kita sebagai masyarakat,” ujarnya.
Seperti dikabarkan sebelumnya, Menteri Khofifah Indar Parawansa menyebut Indonesia sudah masuk darurat pornografi. Khofifah menerangkan biaya belanja pornografi sepanjang 2014 mencapai Rp50 triliun.
Walau sudah ada Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2008 tentang Pornografi dan Gugus Tugas Pencegahan dan Penanganan Pornografi yang beranggotakan menteri-menteri dan lembaga terkait, tetapi hingga saat ini belum terdengar gebrakannya.
“Saat era SBY, Gugus Tugas ini dibawah koordinasi Menko Kesra. Sekarang saya tidak tahu bagaimana nasib gugus tugas ini. Karena saya lihat konten pornografi di negeri ini terutama via internet dan telepon seluler semakin menjadi saja,” tutup Fahira. [AW]