SANAA (Panjimas.com) – Pada Senin 19 Januari 2015, kelompok pemberontak dan milisi Syi’ah Houthi menyerang Istana Kepresidenan Yaman di ibu kota Sanaa. Pertempuran sengit pun tidak dihindarkan, hingga akhirnya kedua pihak sepakat untuk melakukan gencatan senjata.
Pertempuran terjadi karena milisi Syi’ah Houthi menolak Pemerintah Yaman karena dianggap tidak mengakomodir kepentingan mereka. Milisi Syi’ah Houthi juga mengumumkan jika perjuangan mereka di Yaman didukung penuh oleh Negara Syi’ah Iran.
Namun pada Selasa 20 Januari 2015, pertempuran kembali meletus dan masih terus terjadi di Sanna. Milisi Syi’ah Houthi melakukan serangan di dekat Istana Perdana Menteri (PM) Yaman, Khalid Bahah.
“Situasinya berubah sangat cepat, saya khawatir Al Qaeda (AQAP) dan kelompok lainnya akan ikut campur dalam konflik di Yaman,” ujar Menteri Informasi Yaman, Nadia Sakkaf, seperti dilansir Al Jazeera.
Hingga malam hari, milisi Syi’ah Houthi memblokade semua jalan menuju kediaman PM Bahah. Tentara pemerintah pun melakukan perlawanan agar blokade dapat dibuka kembali. PM Bahah sendiri masih berada di dalam komplek Istana Kepresidenan Yaman, dan belum diketahui nasibnya, karena penjagaan sangat ketat.
Hingga pada Selasa malam menjelang Rabu dinihari tanggal 21 Januari 2015, milisi Syi’ah Houthi akhirnya berhasil menguasai penuh Istana Kepresidenan Yaman setelah mengalahkan tentara pemerintah yang mundur dari pertempuran.
“Tentara pro pemerintah sudah ditarik dari Istana Presiden, Kelompok Houthi memasuki komplek istana pada Selasa kemarin,” ujar Juru Bicara Pemerintah Yaman yang tidak mau disebutkan identitasnya, seperti dilansir Al Jazeera, pada Rabu (21/1/2015).
Sementara itu, milisi Syi’ah Houthi juga menyatakan bertanggung jawab atas semua ketidakstabilan keamanan di Yaman. “Semua masalah keamanan di Yaman adalah masalah kami, “ujar pemimpin milisi Syi’ah Houthi, Abdul Malik al-Houthi. [Muhajir/snews/okz]