JAKARTA (Panjimas.com) – Menjelang perayaan natal, umumnya pusat perbelanjaan, gerai-gerai, hotel hingga restoran dihiasi berbagai hiasan natal. Sebagian besar mewajibkan semua karyawannya untuk mengenakan atribut, salah satunya topi santa. Bagi banyak karyawan muslim, khususnya karyawan muslimah berjilbab, mengenakan atribut natal ini adalah bentuk intoleransi karena tidak menghargai hak dan keyakinan agama mereka dan bertentangan dengan pasal 29 UUD 1945.
Senator Asal DKI Jakarta Fahira Idris mengatakan, dirinya mendapat ratusan email dan sms dari berbagai daerah yang melaporkan bahwa masih ada perusahaan yang mengharuskan semua karyawannya untuk mengenakan atribut natal yang jika dilanggar akan dikenakan sanksi.
“Kebanyakan surat dan sms yang terima dari karyawan perempuan muslim dan sebagian besar dari mereka berjilbab. Bagi saya ini adalah bentuk intoleransi. Sebagai Anggota DPD, saya sudah mengirim surat himbauan kepada asosiasi ritel, pusat perbelanjaan, hotel, restoran hingga perusahaan agar tidak ada keharusan bagi karyawan muslim mengenakan atribut natal,” tegas Wakil Ketua Komite III DPD yang salah satu bidangnya mengurusi soal keagamaan ini, di Jakarta (17/12/2014).
Bagi Fahira, selama ini yang terjadi justru pemutarbalikan isu di mana umat muslim yang menolak mengenakan atribut natal dianggap tidak toleran. Padahal, kata Fahira, toleransi itu adalah, kita menghargai atau menghormati setiap tindakan yang orang lain lakukan selama tindakan itu tidak menyimpang dari aturan baik hukum maupun agama.
Makna toleransi itu saling menghormati dan bekerjasama walau kita berbeda secara keyakinan. “Jadi bukan memaksakan atribut atau ritual sebuah agama dipakai atau dirayakan umat agama lain. Surat yang saya kirim ini diharapkan membuka hati para pemilik perusahaan. Namun, jika masih ada yang tetap mewajibkan karyawannya mengenakan atribut natal, saya sebagai pribadi dan anggota DPD akan menegur langsung,” ujar Fahira yang membuka sms center pengaduan di 0818430086 dan lewat email [email protected]
Menurut Fahira, mengenakan atribut natal bagi karyawan muslim yang bekerja di pusat-pusat perbelanjaan, hotel, restoran, supermarket, hingga gerai mini market, gerai busana, alat elektronik dan sebagainya sudah terjadi bertahun-tahun. Jika ini dibiarkan akan menjadi preseden yang tidak baik untuk kerukunan umat beragama di Indonesia.
“Kasihan mereka (para karyawan) yang tidak bisa berbuat apa-apa selain melaksanakan keputusan perusahaan untuk mengenakan atribut natal. Ini soal keyakinan jadi tidak bisa dipaksa-paksa. Ini bisa menimbulkan sikap tidak respect kepada umat agama lain, yang saya harapkan jangan sampai terjadi,” tukas Fahira yang juga Anggota Komisi Pendidikan dan Pengkaderan MUI ini.
Sebelumnya mulai dari Menteri Agama, MUI, dan berbagai organisasi Islam seperti Muhammadiyah dan NU menyatakan agar perusahaan tidak memaksa karyawan muslim mengenakan atribut natal dan meminta karyawan muslim untuk menghindari penggunaan atribut natal. [AW/ahmad]