BALIKPAPAN (Panjimas.com) – Sejak Australia menutup pintu rapat-rapat bagi para pencari suaka dan pengungsi pada 1 Juli 2014 lalu, Indonesia kebanjiran imigran gelap. Mayoritas dari mereka (ada sebanyak 60%; menurut data UNHCR) berasal dari Afghanistan.
Anggota Jurnalis Islam Bersatu (JITU), Fajar Shadiq melaporkan berdasarkan hasil wawancara dengan para pejabat keimigrasian, Australia memang masih menjadi destinasi favorit bagi para imigran daerah konflik. Mereka datang dengan modus sebagai pencari suaka atau pengungsi hingga kemudian bisa transit di Indonesia.
Dalam proses pengajuannya sebagai pencari suaka politik, ada dua kemungkinan bahwa para imigran ini akan diterima atau ditolak oleh negara ketiga. Kalau diterima mereka menunggu berangkat ke negara yang dituju. Kalau ditolak itulah yang menjadi masalah.
UU Imigrasimemberi mereka dua pilihan; dia bisa dimasukkan ke Rudenim selama 10 tahun, lalu jika lewat dari 10 tahun mereka bisa difasilitasi di luar Rudenim dengan cara ditempatkan di community house. Atau dia boleh pulang secara sukarela ke negaranya, dengan difasilitasi oleh NGO internasional bernama International Organization for Migration(IOM).
Kepala Seksi Keamanan dan Ketertiban Rumah Detensi Imigrasi Lamaru Balikpapan, Edu Andarius Aria menyatakan IOM ini merupakan NGO internasional, namun bukan di bawah garis struktural PBB.
“Ini harus dipahami, beberapa wartawan selalu menulis dia (IOM) itu di bawah PBB. Dia bukan dari PBB. Dia support memberikan fasilitas makan apa segala macam. Menjadi fasilitator antara kami dan PBB, tapi dia bukan di bawah PBB. Sumber dananya berasal dari donor, sumbangan dan lainnya,” ungkap Edu saat ditemui JITU di Rudenim Lamaru Balikpapan pada Kamis, (11/12).
Edu mengungkapan, IOM ini merupakan lembaga yang memberi bantuan kepada pihak imigrasi. Dari mulai pembangunannya hingga fasilitasnya kesehariannya. Menurutnya, pihak Australia menjadi salah satu donor yang cukup dominan pada lembaga yang mengurusi para pengungsi ini. [AW/Fajar Shadiq, JITU]