JAKARTA (Panjimas.com) – Ustadz Abu Deedat Syihab, pakar Kristologi dan anti Kristenisasi mendesak pemerintah bersikap tegas menyikapi maraknya bandara perintis milik misonaris Kristen di Papua.
Menurut Ustadz Abu Deedat, sudah sejak lama di Papua itu banyak berdiri bandara perintis karena selama ini daerah tersebut menjadi sasaran misionaris asing.
“Kalau di Papua begitu sudah tidak heran, karena sudah sejak lama banyak misionaris di sana yang mereka mempunyai pesawat-pesawat di sana karena Papua ini menjadi target para misionaris. Kenapa jadi target? Karena Papua ini memiliki kekayaan alam dan orang-orang di Papua itu mudah disulut. Jadi saya tidak heran dengan apa yang disampaikan Pangdam Jaya,” kata Ustadz Abu Deedat kepada redaksi Panjimas.com, Jum’at (28/11/2014).
Menurutnya, para misionaris asing tersebut juga melaksanakan kepentingan penjajahan. Apalagi Papua merupakan daerah yang memiliki kekayaan alam. Untuk itu, pemerintah seharusnya bertindak tegas, bukan malah diam ketika aparat TNI diusir saat menyelidiki bandara misionaris tersebut.
“Dari dulu di Papua itu banyak lembaga misionaris dari luar yang kepentingannya itu sebenarnya untuk kepentingan penjajahan. Jadi seharusnya pemerintah itu memiliki ketegasan terhadap para misionaris pelanggar itu, jadi ketegasan itu jangan hanya berlaku kepada kalangan Muslim saja, nyaris sepertinya TNI tidak berani menyikapi pelanggaran misionaris itu,” ungkapnya.
Lebih kongkritnya menurut Ustadz Abu Deedat, para misionaris asing itu diduga tengah memainkan peran lepasnya wilayah-wilayah Indonesia Timur seperti Timor Timur dahulu.
“Target asing itu kan ingin kalau Indonesia ini pecah, seperti Timor Timur dulu dan yang mudah dipecah atau memisahkan diri ini ya kawasan Indonesi Timur itu, apalagi dihuni oleh banyak non muslim, hal ini juga dimainkan oleh negara barat untuk memecah belah Indonesia,” bebernya.
Ustadz Abu Deedat menilai, pengusiran anggota TNI seperti diungkapkan Pangdam Jaya Mayjen TNI Agus Sutomo merukan bukti intoleransi misionaris Kristen.
“Ini membuktikan sebenarnya yang intoleran itu adalah mereka para misionaris, bayangkan masa aparat negara seperti Babinsa TNI bisa diusir, seperti bukan di negaranya sendiri,” tandasnya.
Agar kejadian tersebut tak terulang lagi dan menghindari dampak buruk yang tidak diinginkan di bumi Cenderawasih itu, Ustadz Abu Deedat mendesak agar aparat segera menutup bandara perintis milik misionaris tersebut.
“Kalau aparat masih memandang bahwa Papua adalah bagian dari NKRI, jadi kalau ada bandara-bandara ilegal apalagi dikuasai misionaris asing itu seharusnya ditutup. Ini tujuannya juga untuk mencegah konflik, makanya sering kita dengar di sana ada aparat yang ditembak oleh OPM. Intinya mereka harus ditindak tegas, sebab kalau tidak maka aparat akan dilecehkan,” tutupnya.
Bandara Perintis milik Misionaris di Papua
Untuk diketahui, Sebenarnya bedirinya bandara perintis milik misionaris memang sejak lama ada di Papua. Sebut saja keberadaan Maskapai AMA (Associated Mission Aviation) di Tanah Papua. Maskapai ini adalah milik bersama lima keuskupan se-Tanah Papua, yaitu Keuskupan Agung Merauke, Keuskupan Jayapura, Keuskupan Agats-Asmat, Keuskupan Manokwari-Sorong, dan Keuskupan Timika yang mengklaim telah beroperasi sejak tahun 1950-an.
Keberadaan maskapai AMA di Tanah Papua, dibangun untuk pelayanan dan pengembangan Gereja di Papua. Para misionaris Katolik (waktu itu kebanyakan dari Eropa) mesti berjalan kaki dari satu tempat ke tempat yang lain.
Setelah perjalanan lebih dari 50 tahun lebih, kini AMA memiliki pesawat-pesawat yang lebih besar dengan kapasitas penumpang sembilan hingga 12 orang. Uskup Saklil mengatakan bahwa saat ini AMA mempunyai delapan unit pesawat, meliputi jenis Cessna, Pilatus Porter, Grand Caravan, dan PAC.
Namun, seperti disampaikan Pangdam Jaya Mayjen TNI Agus Sutomo bandara perinstis yang digunakan misionaris Kristen di Papua justru bertindak semena-mena. (Baca: Pangdam Jaya: Bandara Misionaris Kristen di Papua Berani Usir TNI)
Hal itu disampaikan saat memberi kuliah umum di Universitas Bung Karno (UBK), Jalan Kimia, Jakarta, (Jumat, 21/11).
“Kita sering menyamar ke sana menjadi Babinsa malah diusir, seperti orang asing di negeri sendiri. Biasanya bandara perintis itu buat para misionaris, ini tak boleh dibiarkan,”,” katanya. [AW]