JAKARTA (Panjimas.com) – Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) meminta Mahkamah Konstitusi (MK) tidak mengabulkan permohonan pembatalan pasal 2 ayat 1 UU Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Komnas HAM menilai UU tersebut sudah sesuai dengan pelaksanaan HAM.
“UU Nomor 1 Tahun 1974 tentang perkawinan tidak melanggar HAM,” tegas Komisioner Komnas HAM, Maneger Nasution, pada Selasa (25/11/2014), seperti dilansir Republika Online.
Menurut Maneger, dalam pasal 28B UUD 1945 telah disebutkan bahwa setiap orang berhak membentuk keluarga dan melanjutkan keturunan melalui perkawinan yang sah. Namun, pelaksanaan serta tata caranya diatur dalam UU Nomor 1 Tahun 1974.
Maneger menambahkan, UU Perkawinan itu menjelaskan bahwa perkawinan di Indonesia dianggap sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agama dan kepercayaan, bukan disahkan oleh hukum negara.
Kedudukan negara dalam hal perkawinan hanya sebatas pada pencatatan dokumen perkawinan untuk memenuhi ketertiban administrasi negara. Jadi, apabila permohonan untuk pembatalan pasal 2 ayat 1 UU Nomor 1 Tahun 1974 dikabulkan justru hukum negara akan saling bertabrakan dengan hukum agama.
Seperti diberitakan Panjimas.com sebelumnya, sikap kontroversial dan tidak sesuai fitrah manusia kembali dilakukan oleh kalangan liberal di Indonesia. Kelompok yang dikenal dengan faham SEPILIS (Sekulerisme, Pluralisme, Liberalisme) ini mencoba mengotak-atik konsep dan praktek perkawinan yang sudah baku.
Lima (5) mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Indonesia (FH UI) mengajukan judicial review Undang-Undang (UU) Perkawinan yang menyatakan bahwa perkawinan beda agama tidak sah. Mereka merasa hak konstitusional mereka berpotensi dirugikan terkait UU itu.
Kelima mahasiswa FH UI yang mengajukan gugatan judicial review UU Perkawinan pada Kamis (4/9/2014) ke Mahkamah Konstitusi (MK) itu adalah Damian Agata Yuvens, Rangga Sujud Widigda, Varida Megawati Simarmata, Anbar Jayadi dan Luthfi Sahputra.
Di hadapan 3 hakim konstitusi; Wahiduddin Adams, Arief Hidayat dan Muhammad Alim, mereka menilai Pasal 2 ayat 1 UU No 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan berpotensi merugikan hak konstitusional mereka. Hal ini karena para pemuda itu ingin perkawinannya kelak sah walau ada kemungkinan pasangan mereka berbeda agama. [GA]
BERITA TERKAIT: