JAKARTA (Panjimas.com) —Meningkatnya kasus kekerasan baik fisik maupun seksual terhadap anak beberapa tahun belakangan ini menjadi perhatian serius Komite III Dewan Perwakilan Daerah (DPD). Data dari Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) mencatat Pada 2013 ada 3.023 kasus kekerasan terhadap anak dan 58% merupakan kasus kejahatan seksual (meningkat lebih dari 60 persen dibanding 2012). Sementara hingga April 2014 ini telah menerima 622 laporan kekerasan terhadap anak.
“Ini (kekerasan terhadap anak) sudah menjadi persoalan nasional yang harus segera ada solusinya. Bukan hanya karena sudah banyak merenggut nyawa, yang paling memperihatinkan banyak pelaku kekerasan juga masih anak-anak seperti yang terjadi baru-baru ini di Bukit Tinggi,” ujar Wakil Ketua Komite III DPD Fahira Idris di sela Rapat Pleno Komite III DPD, di Komplek Parlemen, Jakarta (14/10/2014). Pada rapat pleno ini juga diputuskan bahwa Komite III DPD akan ke Bukit Tinggi untuk melakukan investivigasi terkait kasus Bullying siswa SD.
Fahira mengatakan, walau implementasi Undang-Undang No.32/2002 tentang Perlindungan Anak sudah berjalan lebih dari satu dekade, tetapi tindak kekerasan terhadap anak masih marak terjadi di seluruh wilayah Indonesia. Ragam faktor yang membuat masih bersemainya kekerasan anak, mulai dari kurangnya sosialisasi hak-hak anak, hukuman yang belum maksimal, hingga masih belum adanya sistem perlindungan anak di Indonesia.
“Pasal 82 UU Perlindungan Anak hanya mengancam pidana penjara maksimal 15 tahun dan minimal 3 tahun bagi pelaku kekerasan terhadap anak. Pasal 292 KUHP malah lebih ringan. Pelaku pencabulan terhadap anak hanya dihukum maksimal 5 tahun. Padahal, Kekerasan baik fisik maupun seksual kepada anak adalah kejahatan kemanusian luar biasa. Namun, hukum kita menganggapnya biasa,” ujar senator asal Jakarta yang juga Ketua Yayasan Anak Bangsa Berdaya dan Mandiri ini.
Yang paling membuat miris, lanjut Fahira, kekerasan kepada anak justru banyak terjadi di sekolah dan rumah, tempat di mana seharusnya anak mendapat perlindungan. Oleh kerena itu, Indonesia harus menyiapkan sistem perlindungan anak melalui pelibatan masyarakat serta mulai menerapkan pendidikan karakter dan budi pekerti sejak dini, karena itu cara yang efektif mencegah terjadinya kekerasan, dan Komite III DPD akan menginisiasinya segera.
Menurut Fahira, sistem perlindungan anak dengan pelibatan penuh masyarakat sangat efektif mencegah terjadinya kekerasaan. Fahira mencontohkan, Pemerintah Norwegia yang membuka kesempatan bagi masyarakat luas untuk menadi relawan perlindungan anak di lingkungannya masing-masing. Lewat seleksi yang ketat, para relawan ini dilatih menjadi mediator dan konselor di lingkungan tempat tinggal serta secara rutin berdiskusi dan mencari solusi jika terjadi tindak kekerasan terhadap anak, terlebih jika korban dan pelakunya adalah anak-anak juga. Sebagai insentif, masyarakat yang menjadi relawan diberikan keringanan pajak oleh pemerintah.
“Tidak hanya penekanan lewat hukuman maksimal bagi pelaku kekerasan terhadap anak, tetapi juga harus ada sistem perlindungan anak yang terorganisir sebagai tindakan pencegahan. Kita bisa memanfaatkan RT/RW atau organisasi PKK yang jaringan sampai ke lapisan paling bawah masyarakat. Harus ada terobosan,” ujar Fahira yang berencana mengajukan revisi UU Perlindungan Anak dengan penekanan hukuman mati bagi pelaku kekerasan terhadap anak. [AW]