JAKARTA (Panjimas.com) – Pengamat Politik dan Pakar Hukum Tata Negara dari Universitas Muhammadiyah Surakarta (UMS), Dr Aidil Fitriciada Azhari, SH, MH menegaskan bahwa pembatasan pernikahan yang diatur Undang Undang Pernikahan menurut agama masing-masing sudah konstitusional dan sesuai dengan Hak Asasi Manusia (HAM).
Hal itu disampaikan Aidil Fitri di sela-sela selaku pembicara diskusi publik bertajuk Gerakan Muhammadiyah dan Konstitusionalisme.
“Kalau kita mengacu pada pasal 28 J di situ jelas ada pembatasan terhadap hak dan kebebasan. Pembatasan itu diantaranya adalah nilai-nilai moral, agama, ketertiban dan kesejahteraan bersama. Nilai-nilai agama itu bisa menjadi dasar untuk membatasi kebebasan di dalam perkawinan,” kata Aidil Fitriciada di Gedung Dakwah Muhammadiyah, Menteng, Jakarta Pusat, pada Sabtu (13/9/2014).
Lebih jelasnya, dalam UUD 1945 Pasal 28 J ayat 1 dan 2 disebutkan bahwa, “ (1) Setiap orang wajib menghormati hak asasi manusia orang lain dalam tertib kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.
(2) Dalam menjalankan hak dan kebebasannya, setiap orang wajib tunduk kepada pembatasan yang ditetapkan dengan undang-undang dengan maksud semata-mata untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain dan untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan, dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat demokratis.”
Bahkan dalam tinjuan Hak Asasi Manusia (HAM) pembatasa nikah seagama sama sekali tidak bertentangan. Sebab di dalam konstruksi HAM itu dimungkinkan adanya pembatasan.
“HAM itu ada HAM Universal dan ada HAM Partikular, nah HAM Partikular itulah yang terkait dengan pembatasan itu,” ujarnya.
Kesimpulannya, bahwa pernikahan yang telah diatur dalam pasal 2 ayat 1 UU No 1 Tahun 1974 tentang perkawinan yang berbunyi; “Perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agama dan kepercayaannya” sudah sesuai konstitusi di negeri ini. (Baca: Ini Pasal yang Digugat Mahasiswi UI Agar Nikah Beda Agama Dilegalkan)
“Jadi sudah konstitusional, baik di tingkat nasional, internasional dan juga di tingkat regional ASEAN,” ungkapnya.
Oleh sebab itu, Aidil Fitri memandang bahwa gugatan terhadap Undang Undang Perkawinan di Mahkamah Konstitusi sulit dikabulkan.
“Saya tidak melihat adanya celah untuk dikabulkannya gugatan itu, karena beberapa putusan Mahkamah Konstitusi itu cenderung mengacu pada pembatasan berdasarkan nilai-nilai agama,” tandasnya.
Untuk diketahui, Lima mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Indonesia (FH UI) mengajukan judicial review Undang-Undang (UU) Perkawinan yang menyatakan bahwa perkawinan beda agama tidak sah. Mereka merasa hak konstitusional mereka berpotensi dirugikan terkait UU itu. (Baca: 5 Mahasiswa UI Gugat UU Perkawinan Soal Tidak Sahnya Nikah Beda Agama ke MK)
Kelima mahasiswa FH UI yang mengajukan gugatan judicial review UU Perkawinan ke Mahkamah Konstitusi (MK) itu adalah Damian Agata Yuvens, Rangga Sujud Widigda, Varida Megawati Simarmata, Anbar Jayadi dan Luthfi Sahputra.
Di hadapan tiga hakim konstitusi; Wahiduddin Adams, Arief Hidayat dan Muhammad Alim, mereka menilai Pasal 2 ayat 1 UU No 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan berpotensi merugikan hak konstitusional mereka. Hal ini karena para pemuda itu ingin perkawinannya kelak sah walau ada kemungkinan pasangan mereka berbeda agama.[AW]