ANKARA (Panjimas.com) – Kedatangan Menteri Luar Negeri Amerika Serikat (Menlu AS), John Kerry ke Turki langsung disambut pengunjuk rasa yang meneriakkan slogan-slogan penentangan terhadap AS dan mengajak Turki untuk tidak bergabung dalam perang melawan Daulah Khilafah Islamiyyah atau Islamic State (IS).
Kerry datangke Turki untuk bertemu dengan Presiden Turki, Recep Tayyib Erdogan guna mendikusikan kemungkinan kerja sama koalisi ‘salibis’ bentukan Amerika untuk memerangi Daulah Islamiyyah yang dulu bernama Islamic State of Iraq and Syam (ISIS).
Sejauh ini, 10 negara di Timur Tengah telah menyatakan komitmen bersama dengan rencana Presiden AS Barack Obama untuk melawan Daulah Islamiyyah. Namun, meskipun menjadi sekutu penting di NATO dan memiliki militer kuat, Turki memutuskan menahan diri untuk tidak bergabung dengan AS.
Beberapa laporan menunjukkan bahwa Turki tidak akan mengizinkan penggunaan pangkalan udaranya untuk melawan Daulah Islamiyyah. Jurnalis the Washington Post, Adam Taylor mencoba menganalisis alasan Turki tidak mau dan menolak bergabung dengan AS.
Ada satu faktor besar yang membantu menjelaskan keraguan Ankara, yaitu kehidupan 49 warga negaranya yang menjadi sandera IS. Pada Juni 2014 lalu, Daulah Islamiyyah menyerbu konsulat Turki di Mogul, Iraq. Pemerintah Turki tidak hanya lelah menghadapi IS tapi juga keluarga para korban.
Menurut Al Jazeera, dilansir dari the Washington Post, pada Sabtu (13/9/2014), Erdogan mengatakan harapannya adalah solusi yang tidak akan menyebabkan kesedihan bagi rakyatnya.”Tangan dan kaki kami terikat karena para sandera ini,” ujar seorang pejabat Turki yang tak ingin disebutkan namanya.
Persoalan Turki dengan IS lebih dalam dari sekadar sandera ini. Alasan lain adalah Turki berbatasan langsung dengan Suriah, khususnya dengan beberapa kota Turki di selatan. Ini juga yang menjadi kekhawatiran utama Erdogan dimana interaksi dengan Daulah Islamiyyah akan semakin mudah dan langsung. [GA/rol]