JAKARTA (Panjimas.com) – Dalam sebuah acara talk show di TV One pada hari Senin 8 September 2014, tokoh Jaringan Islam Liberal (JIL), Ulil Abshar Abdalla dengan sangat berani dan provokatif mengatakan bahwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) lebih liberal daripada kalangan yang disebut kelompok liberal.
Pasalnya, kata Ulil, MUI telah mengharamkan nikah beda agama (NBA). Padahal menurut Ulil, nikah beda agama juga dituntunkan dalam Islam dan ada dalilnya didalam Al Qur’an. Dalil Al Qur’an yang dimaksud tokoh liberal yang kini berada di Partai Demokrat itu adalah surat Al Maa-idah (5) ayat 5.
“Pada hari ini dihalalkan bagimu yang baik-baik. Makanan (sembelihan) orang-orang yang diberi Al Kitab itu halal bagimu, dan makanan kamu halal (pula) bagi mereka. (Dan dihalalkan mangawini) wanita yang menjaga kehormatan diantara wanita-wanita yang beriman dan wanita-wanita yang menjaga kehormatan di antara orang-orang yang diberi Al Kitab sebelum kamu, bila kamu telah membayar mas kawin mereka dengan maksud menikahinya, tidak dengan maksud berzina dan tidak (pula) menjadikannya gundik-gundik. Barangsiapa yang kafir sesudah beriman (tidak menerima hukum-hukum Islam) maka hapuslah amalannya dan ia di hari kiamat termasuk orang-orang merugi”.
Berikut ini bantahan dan penjelasan anggota komisi fatwa MUI Pusat, ustadz Dr Fahmi Salim MA yang dikirim kepada redaksi Panjimas.com pada Kamis (8/9/2014), terkait statemen sesat dan menyesatkan dari Ulil saat acara talk show di TV One tersebut.
==>> FATWA MUI Apakah Bertentangan dengan Al-Qur’an? @Fahmisalim2: 1) Saya ingin perjelas soal dalil keharaman #NBA sekaligus jawab syubhat mas Ulil, dan kenapa MUI fatwakan haram mutlak, apakah menentang Qs. Al Maa-idah 5:5?
@Fahmisalim2: 2) Ayat-ayat prinsip (ushul) keharaman #NBA adalah Qs. Baqarah (2):221 dan Mumtahanah (60):10 karena turun lebih awal daripada Maa-idah (5):5 @Fahmisalim2: 3) Qs.Al Baqarah 2:221 tentang keharaman mutlak muslim (laki-laki dan perempuan) menikah dg orang-orang musyrik (laki-laki dan perempuan) berkata alasannya adalah “ajakan ke Neraka”
@Fahmisalim2: 4) Qs.60:10 tentang keharaman mutlak muslim menikah dengan orang “KAFIR”, laa tarjiuhunna ilal kuffar. Ujung ayat tegaskan “itulah hukum Allah” @Fahmisalim2: 5) Mafhum “Kuffar” dalam ayat tersebut mencakup ahli kitab dan musyrikin seperti dijelaskan QS Al Bayyinah : 1&6. Qs.Al Baqarah 2 turun di awal madani, begitu juga Qs.60 karena bicara terkait HIJRAH
@Fahmisalim2: 6) Para ahli Qur’an sepakat bahwa Qs. Maa-idah termasuk surah yang terakhir turun, sehingga ayat 5 “wal muhshonatu” dari ahli kitab turun belakangan. @Fahmisalim2: 7) Artinya kehalalan nikah dengan wanita ahli kitab itu mengkhususkan (takhsis) suatu yang sebelumnya mutlak haram #NBA (2:221 & 60:10)
@Fahmisalim2: 8) Model pernikahan selain takhsis Qs.5:5 itu tetap haram sesuai hukum asalnya. Karena ada 4 model saja, maka yang 3 model haram, 1 model boleh.. @Fahmisalim2: 9) 1 model (muslim dengan kitabiyah) yang boleh itupun dengan catatan: maslahat dakwah Islam dan suami kuat imannya berkuasa atas istri dan anak-anaknya.
@Fahmisalim2: 10) Maslahat dakwah adalah beri contoh toleransi dan keagungan Islam dari dekat kepada kitabiyah dan keluarganya. Jika tidak penuhi syarat, ia tak dianjurkan @Fahmisalim2: 11) Buya Hamka dalam Tafsir Azhar mentamsilkan: “jika suami tak kuat iman maka pancing ikan akan lari dibawa ikan”! Tamsil yang cerdas bukan?
@Fahmisalim2: 12) Jadi kehalalan muslim menikahi kitabiyah itu bersyarat yang dapat dibaca tersirat dari konteks/siyaq ayat 5:5 tentang toleransi dan dakwah. @Fahmisalim2: 13) Juga ujung ayat 5:5 itu nyatakan “siapa yang Kafir setelah beriman maka amalnya hangus, di akhirat ia merugi” sebagai isyarat…
@Fahmisalim2: 14) Muslim yang tak kuat iman tapi berani #NBA sehingga ia jafi Kafir itulah resikonya (hangus amal merugi), demikian jelas Buya Hamka dalam Tafsir Azhar @Fahmisalim2: 15) Kebolehan (jawaz) bersyarat itu dalam yurisprudensi Islam (ushul fiqh) bisa jadi haram atau halal tergantung apakah syaratnya terpenuhi/tidak
@Fahmisalim2: 16) Kebolehan itu juga bisa jadi haram jika dipandang madharatnya lebih kuat daripada maslahat. Sebab hukum jawaz itu fleksibel bisa berubah karena madharat @Fahmisalim2: 17) Disinilah fatwa MUI yang haramkan mutlak harus diletakkan dalam porsi ijtihad dan yurisprudensi, tak bertentangan dengan bunyi (mantuq) nash/teks Qur’an
@Fahmisalim2: 18) Sama dengan ijtihad Khalifah Umar yang menangguhkan hukum hudud di masa paceklik, bukan menganulir, tapi karena syarat tak terpenuhi untuk menegakkan hudud @Fahmisalim2: 19) Sama dengan ijtihad Muhamad Abduh yang ‘pernah’ melarang poligami di Mesir karena melihat banyak malpraktek tak penuhi syarat. Ia tidak mengharamkan sama sekali.
@Fahmisalim2: 20) Kesimpulan: fatwa MUI sesuai dengan ruh/spirit Qur’an dalam mengharamkan NBA, termasuk dengan wanita kitabiyah karena ada syarat-syaratnya yang berat. Sekian. Wallahu a’lam wa ahkam.. [edt; GA]