JAKARTA (Panjimas.com) – Seorang mahasiswi Fakultas Hukum Universitas Indonesia (FH UI) bernama Anbar Jayadi bersama 4 orang alumni sebagai pemohon yaitu Damian Agata Yuvens, Rangga Sujud Widigda, dan Varida Megawati Simarmata mengajukan uji materi UU Perkawinan ke Mahkamah Konstitusi (MK) agar perkawinan beda agama dianggap sah atau dilegalkan di mata hukum.
Anbar mengaku, ia banyak menerima keluhan teman-temannya soal perkawinan beda agama itu. Seperti ada yang terpaksa pindah agama, ada yang menikah di luar negeri dan ada pula yang meminta pengadilan menyatakan perkawinan mereka sah walau beda agama.
“Saya belajar UU Perkawinan itu. Saya lakukan ini sebagai kepedulian saya,” ujar Anbar di gedung MK, Jl Medan Merdeka Barat, Jakarta Pusat, pada Kamis (4/9/2014), seperti yang diberitakan Detik. “Harapan saya tidak ada pemaksaan pindah agama untuk menikah,” ujar Anbar, seperti dilansir Metrotvnews.
Gadis berusia 21 tahun itu beralasan, perkawinan seharusnya dilakukan berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa, bukan dipaksakan berdasarkan hukum agama. Sehingga banyak kasus salah satu pasangan terpaksa pindah agama untuk menikah walau belum tentu ia meyakini agama itu lahir dan batin. “Ketika mereka dipaksa, itu melanggar kebebasan berkeyakinan mereka,” ujar mahasiswi semester 10 FH UI itu.
Anbar menjelaskan, permohonan uji materi pasal 2 ayat 1 UU No 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan itu mengatur keabsahan pernikahan yang harus dilandasi hukum agama. Baginya, pasal itu berarti negara menyerahkan kepada masyarakat apa yang sah dan tidak terhadap sebuah perkawinan.
“Perbedaan penafsiran, ini kok negara bertanya lagi ke masyarakat soal keabsahan pernikahan? Walau Pasal 1 UU Perkawinan itu berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa, lalu keabsahan perkawinannya itu juga jangan atas agama,” ujar Anbar.
Sementara itu pemohon yang lain, Lutfi Saputra meminta kepada hakim MK agar pasal 2 ayat (1) UU Perkawinan bertentangan dengan UUD Tahun 1945. “Ketentuan tersebut tidak mempunyai kekuatan hukum tetap dan harus batal demi hukum,”tandasnya.
Majelis hakim yang diketuai Wahiddudin Adams dan beranggotakan Arief Hidayat dan Muhammad Alim banyak memberi catatan dan masukan atas permohonan yang disampaikan pemohon terkait uji materi UU Perkawinan. Ketiganya memberikan catatan mengenai legal standing pemohon dan materi permohonan.
Hakim Wahiddudin Adams mempersoalkan legal standing (kedudukan hukum) pemohon karena para pemohon belum menikah. Sebab, kerugian konsitusional pemohon harus aktual atau potensial atas berlakunya pasal tersebut.
“Kalian semua belum menikah kan? Berdasarkan KTP para pemohon belum menikah, jadi kerugiannya di mana? Atau paling tidak pemohon potensial dirugikan, misalnya para pemohon akan menikah beda agama,” kata Wahiduddin.
Terkait, materi permohonan, Wahiduddin meminta kepada pemohon untuk mengelobarasi lebih dalam pertentangan antara pasal yang diuji dengan pasal-pasal dalam UUD 1945. “Permohonan lebih banyak menguraikan contoh-contoh kasus yang termuat dalam putusan pengadilan terkait perkawinan beda agama. Yang penting dipertajam pertentangan normanya dengan pasal batu ujinya,” ujarnya.
Selain itu, Wahiduddin juga menganjurkan pemohon memasukkan pengaturan sistem perkawinan di negara-negara lain yang sudah menerapkan kawin beda agama sebagai perbandingan. Posita (uraian permohonan), lanjutnya, harus dielaborasi dari aspek filosofisnya.
“Sebab, konstitusi Indonesia tidak menganut negara agama dan negara sekuler, tetapi berdasarkan Pancasila. Artinya, dasar sila pertama Pancasila, “Ketuhanan Yang Maha Esa” harus menjadi landasan kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara termasuk perkawinan,”jelasnya.
Dasar Pengujian dalam UU No 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan
Berikut ini adalah ketentuan yang diuji dan dasar pengujiannya
Norma yang diuji Pemohon
Pasal 2 ayat (1) UU Perkawinan
Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing
agamanya dan kepercayaannya itu..
Dasar-dasar Pengujian
– Pasal 27 ayat (1) UUD 1945
Segala warga Negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya.
– Pasal 28B ayat (1) UUD 1945
Setiap orang berhak membentuk keluarga dan melanjutkan keturunan melalui perkawinan yang sah.
– Pasal 28D ayat (1) UUD 1945
Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum.
– Pasal 28E ayat (1) dan ayat (2) UUD 1945
1. Setiap orang bebas memeluk agama dan beribadat menurut agamanya, memilih pendidikan dan pengajaran, memilih pekerjaan, memilih kewarganegaraan, memilih tempat tinggal di wilayah negara dan meninggalkannya, serta berhak kembali.
2. Setiap orang berhak atas kebebasan meyakini kepercayaan, menyatakan pikiran dan sikap, sesuai dengan hati nuraninya.
– Pasal 28I ayat (1) UUD 1945
Setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin bertempat tinggal dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan.
– Pasal 29 ayat (2) UUD 1945
Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu. [GA/dbs]