JAKARTA (Panjimas.com) – Sikap kontroversial dan tak masuk akal serta tak sesuai fitrah manusia kembali dilakukan oleh kalangan liberal di Indonesia. Kelompok yang dikenal dengan faham SEPILIS (Sekulerisme, Pluralisme, Liberalisme) ini mencoba mengotak-atik konsep dan praktek perkawinan yang sudah baku.
Lima (5) mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Indonesia (FH UI) mengajukan judicial review Undang-Undang (UU) Perkawinan yang menyatakan bahwa perkawinan beda agama tidak sah. Mereka merasa hak konstitusional mereka berpotensi dirugikan terkait UU itu.
Kelima mahasiswa FH UI yang mengajukan gugatan judicial review UU Perkawinan ke Mahkamah Konstitusi (MK) itu adalah Damian Agata Yuvens, Rangga Sujud Widigda, Varida Megawati Simarmata, Anbar Jayadi dan Luthfi Sahputra.
Di hadapan tiga hakim konstitusi; Wahiduddin Adams, Arief Hidayat dan Muhammad Alim, mereka menilai Pasal 2 ayat 1 UU No 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan berpotensi merugikan hak konstitusional mereka. Hal ini karena para pemuda itu ingin perkawinannya kelak sah walau ada kemungkinan pasangan mereka berbeda agama.
“Perkawinan yang tercantum dalam aturan tersebut akan berimplikasi pada tidak sahnya perkawinan yang dilakukan di luar hukum masing-masing agama dan kepercayaannya,” ujar Damian saat dalam persidangan di gedung MK, Jl Medan Merdeka Barat, Jakarta Pusat, pada Kamis (4/9/2014) seperti dilansir Detik.
Pasal yang diujimaterikan itu berbunyi, ‘Perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu’. Menurut alumnus FH UI itu, negara ‘memaksa’ agar setiap warga negaranya mematuhi hukum agama dan kepercayaan masing-masing dalam bidang perkawinan. ”Karena intepretasi hukum agama dikembalikan kepada masing-masing orangnya,” ujar Damian.
Pasal itu juga dinilai menyebabkan ketidakpastian hukum bagi orang-orang yang hendak melakukan perkawinan di Indonesia. Hal ini karena penerapan hukum agama dan kepercayaan sangatlah bergantung pada interpretasi baik secara individual maupun institusional.
“Masyarakat Indonesia, khususnya yang hendak melangsungkan perkawinan tanpa mengikuti hukum agama, menghindari pasal itu. Yaitu dengan cara melakukan penyelundupan hukum. Modus yang digunakan adalah melangsungkan perkawinan di luar negeri dan melakukan perkawinan secara adat,” tambahnya.
Sementara itu, Anbar Jayadi mengatakan, banyak pasangan kekasih yang gagal menikah gara-gara berbeda agama. Banyak juga yang terpaksa pindah agama agar dapat menikah dengan kekasihnya. Itulah alasan Anbar menggugat UU Perkawinan. “Harapan saya tidak ada pemaksaan pindah agama untuk menikah,” ujar Anbar di Gedung MK juga, pada Kamis (4/9/2014) seperti dilansir Metrotvnews.
Aturan di dalam UU 1/1974 Pasal 2 Ayat 1 tentang perkawinan menghalangi hak kontitusional warga negara Indonesia untuk melakukan perkawinan berbeda agama. Padahal jodoh adalah salah satu rahasia Allah SWT sehingga tidak ada yang bisa memastikan kelak akan mendapatkan pasangan hidup yang memeluk agama apa.
Untuk itu, ia meminta agar keyakinan hati nurani warga untuk memilih pasangannya tidak dihalang-halangi. “Kita tidak tahu akan bertemu dengan siapa. Jadi nanti saat kita harus menikah dengan beda agama, negara tidak bisa melarang itu,” papar Anbar yang juga mahasiswi semester 10 FH UI.
Menurut para pemuda itu, Pasal 2 ayat 1 UU Perkawinan itu bertentangan dengan Pasal 27, Pasal 28B, Pasal 28D, Pasal 28E, Pasal 28I dan Pasal 29 UUD 1945. Mereka meminta MK membatalkan pasal yang mengatur keabsahan pernikahan berdasarkan agama itu. [GA]