JAKARTA (Panjimas.com) – Kepala Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT), Irjen Pol (Purn) Ansyaad Mbai sepertinya tidak puas dengan kinerja Tim Densus 88 Antiteror (baca; Anti Islam) Mabes Polri dalam menciduk dan menculik sejumlah aktivis Islam dengan cara yang penuh kekerasan dan kebrutalan.
Mbai mengatakan bahwa UU Anti Terorisme yang ada di Indonesia saat ini bersifat reaktif. Untuk itu UU Anti Terorisme harus direvisi agar ada tindakan yang lebih keras dan brutal yang dilakukan Densus 88 untuk mencegah terjadinya aksi terorisme di Indonesia.
“UU Terorisme harus direvisi karena kita termasuk yang terlembek di dunia. Lebih bersifat reaktif, bertindak kalau sudah terjadi. Padahal untuk mengalahkan terorisme harus bertindak proaktif,” ujar Mbai dalam Diskusi “Indonesia Merespon Ancaman ISIS” di Hotel Borobudur, Jakarta Pusat (Jakpus), Senin (25/8/2014).
“Hampir seluruh negara itu (terorisme -red) hukumannya berat, termasuk di Inggris. Di sini teroris sama pencuri ayam sama. Bahkan kepala sipir ada yang takut kalau terlalu straight sama mereka. Tidak mungkin yang namanya pendekatan halus,” ujar Mbai.
Mantan Kapolda Sumatera Utara (Sumut) inipun beralasan bahwa tindakan keras dan proaktif sangat diperlukan dalam memberantas terorisme. Menurut Mbai, tindakan halus sudah tidak bisa dipakai lagi untuk menghancurkan keyakinan aktivis Islam yang kuat pemahaman aqidahnya.
“Bagaimana mencairkan pemahaman jihad yang ekstrim. Pendekatan hukum saja juga tidak cukup, dari bahasa-bahasa keagamaan juga. Tidak bisa single. Kalau hanya dakwah-dakwah mereka merasa lebih pintar dari para ulama ini,” tutur Mbai yang gemar melontarkan fitnah kepada para ulama tauhid. [GA/dtk]