GAZA-PALESTINA (Panjimas.com) – Krisis kemanusiaan dan krisis bantuan kemanusiaan hingga kini masih dirasakan oleh warga Jalur Gaza,Palestina.
Lebih dari 1,7 juta jiwa warga Jalur Gaza hidup di wilayah dengan panjang 47KM dan lebar 11KM, 50 % dari mereka adalah pengangguran.
Bermula dari tentara Zionis Yahudi angkat kaki dari wilayah Jalur Gaza pada tahun 2006, pada saat itu juga pemerintah Israel memberlakukan zona merah serta menancapkan garis penambah derita nestapa bagi rakyat Palestina. Bisa dikatakan salah satu penyebab kematian khususnya bagi rakyat Jalur Gaza yaitu blokade oleh Israel.
Dengan diberlakukannya blokade Zionis Israel terhadap wilayah berbentuk kerucut memanjang yang terletak di bagian Timur Barat Palestina yang diberi nama Gaza Strip (Jalur Gaza), makin mempersempit aktifitas masyarakat, perekmonomian pun menjadi lumpuh menjadi penyebab utama terjadi penggangguran. Terowongan atau jalur bawah tanah satu-satunya cara yang menjadi urat nadi.
Masyarakat Jalur Gaza terpaksa menerima nasib dimana mereka menjalani hidup tanpa listrik (karena listri di pasok oleh zionis israel dan di pasok oleh pihak Mesir, sekarang sudah distop pasokan listrik), kelangkaan Bahan Bakar Minyak (BBM) dengan terpaksa para sopir menjadi penganggur dan para pegawai sipil hanya menerima gaji 1x dalam 4 bulan itu pun hanya separuh gaji.
Operasi penangkapan terhadap rakyat Palestina dan pembunuhan juga masih gencar dilakukan oleh militer oleh Israel. Negara PBB sebenarnya tahu kejahatan zionis israel akan tetapi diam dan tidak dapat berbuat apa-apa.
Para Muslimah Palestina khususnya yang barada di Jalur Gaza banyak diantara suami mereka tewas di medan pertempuran saat berhadapan dengan tentara Zionis Israel atau tewas tertimpa reruntuhan akibat rumah mereka terkena roket dan bom Israel.
Lebih dari 10 ribu janda terdapat di Gaza dan 23 ribu anak yatim yang hidup di wilayah yang masih diblokade Israel, awalnya para janda dan anak yatim menerima bantuan LSM dari berbagai negara melalui pintu Rafah (perbatasan antara Gaza dan Mesir), akan tetapi saat ini pintu Rafah di tutup dan bantuan kemansiaan tidak diperbolehkan masuk Gaza.
Akibat dari penutupan pintu Rafah dan penghancuran terowongan maka para janda dan anak yatim serta keluarga fakir harus menerima resikonya yaitu tidak menerima bantuan, hal ini tentu membuat banyak pihak bingung dari mana mereka mendapatkan makanan untuk bertahan hidup.
Dari segi kesehatan, setelah melakukan koordinasi dengan pihak kementrian kesehatan Palestina di Jalur Gaza bahwa rakyat Gaza tidak hanya mengalami krisis dari segi bahan makanan akan tetapi lebih dari itu yaitu krisis pasokan obat-obatan dengan terpaksa para pasien harus di rujuk ke Israel dan ke Mesir untuk menjalani perawatan yang memadai, tidak sedikit dari para pasien menemui nasib meninggal sebelu tiba di rumah sakit baik di Mesir maupun di Israel.
Dua hari lalu saya melakukan kunjugan ke salah satu lembaga layanan kesehatan non pemerintah, gedungnya sangat besar akan tetapi pasiennya bisa dikatakan tidak ada. Setelah saya telusuri tidak ada pasien bukan karena rakyat Gaza terhindar dari penyakit atau tidak sakit, akan tetapi para pasien rakyat Gaza yang sakit terpaksa memilih di rumah karena tidak memiliki dana untuk berobat, padahal di lembaga kesehatan tersebut mematok harga berobat dengan harga yang terjangkau alias subsidi silang.
Semoga penderitaan rakyat Gaza segera berakhir dan kaum Muslimin di seluruh dunia, khususnya di Indonesia bisa membantu meringankan penderitaan mereka. [AW]
Gaza, 2 Juni 2014
Abdillah Onim
Jurnalis dan Aktivis Indonesia untuk Palestina yang saat ini menetap di Gaza.
Salurkan Infaq untuk Gaza-Palestina, informasi:
Pin BlackBerry 25C63245.
Hp/WhastApp +972598058513/WhatSapp
Email: [email protected]