KARANGANYAR, (Panjimas.com) — Pakar Sejarah Institute of Islamic Thought and Civilizations (INSIST), Dr. Tiar Anwar Bachtiar baru-baru ini mengungkapkan hasil penelitiannya mengenai sejarah penggunaan jilbab di Indonesia. Ia menilai fakta sejarah semacam inilah yang menurutnya perlu diketahui umat Islam agar dapat mengantisipasi sikap, pandangan kaum sekuler yang cenderung memojokkan kaum muslimin di Indonesia.
Dr. Tiar Anwar mengaku pihaknya sejauh ini memang belum menemukan bukti berupa gambar tentang pemakaian jilbab di Indonesia pada tahun-tahun sebelum Belanda datang. Semua gambar tentang penggunaan jilbab yang banyak beredar di tengah-tengah kita adalah setelah bangsa kolonial masuk di Indonesia. Namun konsep jilbab sudah lebih dahulu ada dan dikenal, hal ini terbukti dengan adanya Kitab Sunan Bonang yang menuliskan tentang adab termasuk di dalamnya adab berpakaian.
“Pada tahun 1500an hanya bisa dilihat melalui tulisan dalam kitab Sunan Bonang, artinya pada zaman itu ulama-ulama kita sudah mengajarkan konsep adab dalam berpakaian syar’i yang menutup aurat hanya saja model pakaian yang seperti apa saya belum tahu” papar Ustadz Tiar saat menjadi narasumber dalam Kajian Inspirasi di Masjid Agung Karanganyar, Sabtu (21/07).
Kaum sekuler banyak mengeluarkan argumen dengan mengatakan bahwa pada masa dahulu santri putri tidak menggunakan jilbab. Pendapat mereka dibuktikan dengan beredarnya foto para santri putri yang tidak menggunakan jilbab.
Namun sebagai peneliti Sejarah Islam, Dr. Tiar Anwar Bachtiar berpendapat bahwa bisa jadi foto itu diambil ketika para santri putri tengah di dalam ruangan yang di dalamnya hanya terdapat santri putri saja dan foto itu pun akhirnya tanpa sengaja terpublikasi.
Ia pun menyampaikan bahwa sebagian besar umat Islam Indonesia menganut fikih yang diajarkan oleh Mahzab Imam Syafi’i. Di mana konsep aurat bagi perempuan adalah keseluruhan anggota badan kecuali muka dan telapak tangan. Berbeda konsep dengan mahzab Imam Ahmad bin Hambal yang menyebutkan bahwa selain jilbab seorang muslimah juga wajib memakai niqab atau cadar.
“Perbedaan pendapat dalam hal fikih adalah hal yang wajar namun sejauh ini di Indonesia belum ada fatwa ulama yang menyatakan bahwa cadar adalah hal yang terlarang itu artinya penggunaan cadar atau niqab hukumnya boleh” tukasnya.
Pengertian jilbab dalam tradisi Islam ialah pakaian yang menutup aurat. Tradisi inilah yang sebenarnya sudah disadari oleh umat Islam Indonesia baik laki-laki dan perempuan. Namun khusus pada kesempatan kali ini kita akan mengupas lika-liku perjuangan jilbab di Indonesia.
“Meskipun tidak ada dokumen pasti terkait pemakaian jilbab, kerudung pada masa lalu karena baru ada gambar sekitar akhir abad ke -19 dan awal abad ke- 20 ketika lahirnya gerakan Perempuan Islam seperti Aisyiah (Muhammadiyah) dan Persatuan Islam Istri atau Persistri (Persis)” ujarnya.
Ia pun mengatakan jika pada saat pembentukan kedua ormas per empuan seperti Aisyiah dan Persistri para aktivis pendirinya sudah menutup kepala menggunakan jilbab. Aisyiah berdiri pada tahun 1917 sementara Persistri pada tahun 1936 kedua organisasi perempuan ini menjadi bukti bahwa konsep menutup aurat sudah menjadi hal yang biasa. Hanya saja pada perkembangan pergerakan Islam di Indonesia pada fase berikutnya ditemukan fakta bahwa beberapa istri para aktivis Islam tidak menggunakan jilbab.
“Beberapa tokoh perempuan Islam yang juga istri aktivis Islam beberapa tidak menggunakan jilbab atau hanya ditempelkan saja namun hal ini sebuah kecenderungan individual yang tidak bisa digeneralisir” sambungnya.
Fakta sejarah lain yang perlu kita perhatikan adalah bahwa pada masa itu trend industri fashion jilbab, busana muslimah keberadaan jarum atau peniti belum semarak seperti saat ini. Di mana pada saat itu prinsip berjilbab bagi seorang perempuan ialah menutup bagian tubuh antara leher dan dada.
Hal lain yang juga perlu menjadi perhatian kita adalah keberadaan perempuan di sekolah Belanda. Sejak awal berdirinya sekolah Belanda pada tahun 1800’an memang sengaja meniadakan pelajaran agama sekaligus tata cara berpakaian siswanya pun diatur. Termasuk larangan menggunakan jilbab atau pakaian santri di sekolah mereka. Hal ini berlaku juga pada para pekerja- pekerja pribumi yang bekerja di perkebunan Belanda.
“Sehingga kita tidak heran jika perempuan seperti Kartini seorang putri bupati beragama Islam dia tidak menggunakan jilbab, sementara dalam hal berpakaian busana Kartini merupakan pakaian resmi istri bangsawan yang dekat dengan Belanda,” jelasnya.[IZ]