Panjimas.com – Setelah zaman 3 generasi terbaik telah berlalu dan di ikuti generasi-generasi setelah mereka namun tidak ada satupun pernah tercatat dalam sejarah,para 3 generasi terbaik pernah melakukan peringatan maulid Nabi walaupun kita semua tahu tidak ada yang mengalahkan mereka dalam hal mencintai Nabi SAW dan mereka adalah orang-orang yang selalu berusaha mengikuti syariatnya dan paling paham dengan sunnah Nabinya.
Lalu dari manakah peringatan ini berasal dan apa saja syubhat yang ahlu bid’ah lontarkan?,maka sudah seharusnya kita sebagai muslim yang cinta akan Nabinya agar mengetahui mana saja sunnah nabinya yang harus kita ikuti atau kita tinggalkan.
Yang pertama kali membuat bid’ah Maulid
Yang pertama kali mengadakan perayaan maulid adalah Bani Ubaid Al-Qadah yang biasa disebut dengan kelompok Fathimiyyah dan mereka menisbatkan diri kepada putra Ali bin Abu Thalib,padahal sebenarnya merekalah peletak dasar untuk mendakwahkan aliran kebatinan.
Nenek moyang mereka adalah Dishan yang dikenal dengan Al-Qadah(karena dia selalu mencelaki mata jika air jatuh di dalamnya),dulunya dia adalah budak dari Ja’far Ash-Shadiq bin Muhammad bin Ali Zainul Abidin bin Husain bin Ali bin Abu Thalib dan berasal dari Ahwaz yang letaknya antara Bashrah dan Persia,salah seorang pendiri aliran Bathiniyyah di Irak,kemudian pindah ke Maghrib dan menisbatkan diri kepada Aqil bin Abu Thalib serta mengaku berasal dari keturunannya
Ketika orang-orang dari kelompok Rafidhah yang sesat menerima seruannya,dia mengaku bahwa dirinya adalah anak Muhammad bin Ismail bin Ja’far Ash-Shadiq sehingga mereka menerimanya,padahal Muhammad bin Ismail bin Ja’far Ash-Shadiq meninggal dunia tanpa meninggalkan keturunan
Syubhat yang dilontarkan para ahlu bid’ah
As-Suyuthi berkata:”Imam Abu Al-Fadhl Ahmad bin Hajar Al-Asqalani telah mentakhrij masalah Maulid Nabi yang di dasarkan kepada Sunnah,ketika ia ditanya tentang peringatan Maulid Nabi,maka dia menjawab:
“Pada dasarnya peringatan Maulid Nabi adalah bid’ah karena tidak seorangpun dari ulama salafussalih tiga abad pertama yang melakukannya,akan tetapi bagaimanapun peringatan itu telah mencakup kebaikan dan juga kejelekkan,maka peringatan Maulid bisa menjadi bid’ah hasanah apabila kita mengambil baiknya dan membuang jeleknya”.
Kemudian dia berkata :
“Adapun saya mengembalikan masalah ini kepada sumber pokoknya yaitu sebuah Hadist yang diriwayatkan dari Ibnu Abbas,dia berkata:”Sewaktu Rasulullah SAW tiba di madinah,beliau mendapati orang-orang yahudi berpuasa pada hari Asyura,ketika ditanya tentang puasa mereka itu,mereka menjawab:”Hari ini adalah hari kemenangan yang telah diberikan oleh Allah kepada nabi Musa dan kaum Bani Israil dari Fir’aun,kami merasa perlu untuk berpuasa pada hari ini sebagai ucapan terima kasih kepada Allah” lalu Rasulullah SAW bersabda:”Kami lebih berhak daripada kamu dan Nabi Musa dalam hal ini” kemudian beliau memerintahkan para sahabat supaya berpuasa pada hari tersebut”(HR.Bukhari dan Muslim)
Dari hadist di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa untuk bersyukur kepada Allah atas nikmat yang telah di berikan kepada kita pada hari tertentu atau untuk mencegah musibah,Rasulullah SAW memerintahkan kepada kita agar memperbanyak ibadah di dalamnya seperti shalat,puasa,dan sebagainya
Nikmat mana yang lebih besar daripada nikmat datangnya Nabi pada hari kelahirannya,oleh karena itu,hendaknya pada hari kelahirannya itu dirayakan dengan ibadah sehingga sama dengan kisah Nabi Musa pada bulan Asyura.(Al-Haawi,I,196,buku no 24)
Bantahan terhadap syubhat
- Pada awal jawabannya,Ibnu Hajar dengan terus terang mengatakan bahwa pada dasarnya peringatan Maulid Nabi adalah bid’ah karena dalam tiga abad Islam tidak seorangpun dari ulama salaf yang melakukannya,jika peringan Maulid tersebut baik tentu sudah dilakukan oleh para shahabat
- Takhrij Ibnu hajar tentang peringatan Maulid Nabi yang di dasarkan pada hadist tentang puasa Asyura adalah tidak pas karena itu persoalan yang berbeda dan tidak mungkin di satukan,dalil tentang puasa Asyura tidak tepat bila digunakan untuk dalil peringatan Maulid Nabi karena jika itu bisa dijadikan dalil,tentu para Salafussalih melakukannya,oleh karena itu istimbath(pengambilan kesimpulan)Ibnu Hajar bertentangan dengan Ijma(kesepakatan) para salaf,baik dari sisi pemahaman ataupun praktisinya
- Membolehkan peringatan Maulid Nabi dengan dalil puasa Asyura merupakan pembebanan ibadah yang tertolak karena ibadah harus di dasarkan pada Syariat dan ittiba bukan pada pendapat dan bid’ah
Hakikat mencintai Rasulullah
Manusia berselisih pendapat dalam menafsirkan arti cinta kepada Rasulullah SAW,akan tetapi perbedaan itu bukan pada pokoknya melainkan pada cabang(keadaan)nya
Ada yang mengatakan bahwa cinta Rasul adalah dengan menjalankan sunnahnya dan takut menentangnya
Hakikat cinta adalah condong kepada apa yang disenagi manusia,kecondongannya bisa terjadi karena merasa nyaman tatkala melihatnya atau kecintaannya itu timbul karena orang yang di cintainya terlalu baik kepadanya dan memberinya karunia hal ini dikarenakan karena jiwa secara alami akan senang kepada orang yang berbuat baik kepadanya
Apabila benar bahwa makna cinta terkandung dalam unsur-unsur yang dijelaskan diatas,maka semua itu ada pada Rasulullah SAW karena beliau memiliki unsur keindahan bentuk(lahir) dan keindahan akhlaq
Mengenai kebaikan Rasulullah SAW kepada umatnya telah banyak di sebutkan di dalam Al-Qur’an,diantara kebaikannya adalah beliau berbelas kasih kepada umatnya,memberi petunjuk kepada mereka,mencintai mereka dan berlemah lembut kepada orang-orang mukmin
Rasulullah juga berhak untuk di cintai dengan kecintaan yang hakiki karena kebaikannya yang banyak dan keindahannya,dan bahwasannya orang yang imannya sempurna tahu bahwa hak Nabi SAW untuk di cintai lebih besar baginya daripada keluarganya dan manusia lainnya sebagaimana sabda Nabi:
“Tidaklah beriman salah seorang di antara kamu,(kecuali)sampai menjadikan saya lebih di cintainya daripada kedua orang tuanya,anaknya dan seluruh manusia”.(HR.Bukhari)
Marilah kita memohon kepada Allah agar dikumpulkan di hari kiamat nanti dengan orang-orang yang mencintai Nabinya yang sesuai dengan petunjuk syariat dan agar tidak di kumpulkan dengan orang-orang yang mengikuti akal dan hawa nafsunya.(Husain Fikry)