SOLO, (Panjimas.com) – Awal November lalu forum diskusi lintas gerakan ini telah membahas tentang gerakan kristenisasi dan komunisme. Sebagaimana diketahui, Kota Solo dikenal kuat sebagai kota basis PKI yang memiliki sejarah yang cukup panjang.
“Di Solo inilah secara historis, adalah pusat dan tempat bertemunya berbagai ideologi, kristenisasi dan komunisme juga merupakan 2 misi yang tak bisa lepas dari dinamika di Solo. Hasil kajian forum lintas gerakan melihat bahwa dalam konteks historis, kristenisasi dan komunisme sebenarnya berkolaborasi di Solo dalam memecah belah organisasi Islam yang besar di Solo, misalnya Sarekat Islam [SI]”ujar Adhytiawan, aktivis Islam yang juga mahasiswa Ilmu Sejarah UNS.
Ia menambahkan, Infiltran komunis yang masuk dalam tubuh Sarekat Islam [SI], telah memecah belah organisasi itu, tak luput terbelahnya tubuh SI cabang Solo ternyata memiliki dampak besar di kota lain, misalnya juga di SI Cabang Semarang yang kemudian tumbuh pesat menjadi SI merah yang berhaluan komunias, Peristiwa Solo dan Semarang ternyata memiliki dampak besar di kota-kota lain.
Lebih lanjut mahasiswa Ilmu Sejarah UNS ini juga mengatakan, kristenisasi pun juga berperan besar untuk memecah belah organisasi Islam di Solo, misalnya Tokoh Kristenisasi Solo bernama Van Andel, seorang Pastur yang cukup berhasil memurtadkan Muslim di Solo terutama daerah Manahan, Timuran, Danukusuman, dan Banjarsari. Sistem memecah belah kekuatan Islam ini semakin jelas ketika Van Andel mulai membangun Rumah Sakit, Lembaga Pendidikan, Yayasan dsb.
Ia pun menambahkan, “saat itu kondisi mulai memanas ketika organisasi Muhammadiyah juga mendirikan sekolah dan Rumah Sakit, persaingan menjadi cukup tajam di Solo, sampai akhirnya Muhammadiyah cabang Solo mulai tidak disukai pihak Mangkunegaran, dimana dalam internal Mangkunegaran saat itu sendiri ada beberapa pejabat yang beragama Kristen, ini merupakan titik dimana kristenisasi telah masuk dalam tubuh kekuasaan di tubuh Mangkunegaran.”, jelasnya
Dalam konteks historis di Solo, kristenisasi dan komunisme jelas memukul beberapa organisasi Islam, misalnya terjadi perpecahan yang cukup tajam antara kubu Haji Misbach yang mulai terpengaruh komunisme menggawangi laskar Islam Sidiq Amanah Fathonah Tabligh [SATV] vis a vis dengan para redaktur Islam dengan Muhammadiyah dan kubu SI Putih.
Sebagaimana diketahui, di Solo pasca Pemilihan Umum tahun 1955, hampir seluruh pejabat dari tingkat kota hingga pengurus RT dikuasai oleh anggota ataupun simpatisan PKI. Oleh karena itu, tak heran jika kehidupan para Ulama dan keluarganya saat itu selalu mengalami intimidasi yang tidak menyenangkan. pasca pemilu 1955 itu pula kemudian rangkaian konfrontasi terhadap umat Islam terus berlanjut.
Mengutip Koran Panji, menjelang aksi pemberontakan atas perintah pusat, terjadilah propaganda yang dialamatkan untuk organisasi-organisasi Islam. Di kota Solo sendiri bentrokan fisik hampir terus terjadi, misalnya terjadi pengeroyokan dan pembunuhan sekelompok remaja Masjid di Desa Giriroto,Kecamatan Ngemplak, Kabupaten Boyolali. Selain itu ada juga bentrokan yang terjadi di daerah Jayengan, Jagalan, Pajang, Sambeng, dan beberapa tempat lainnya. Peristiwa ini juga dibarengi dengan munculnya tanda silang merah pada setiap rumah masyarakat Muslim yang ideologis. Diketahui, bahwa tanda tersebut merupakan kode, dimana rumah yang bertanda adalah target “pembersihan” musuh PKI.
Puncaknya bersamaan dengan terjadinya pemberontakan di Jakarta pada 30 September hingga 1 Oktober dinihari 1965, dengan kekuatan Batalion M Kodam IV Dipenogoro, G30S/PKI juga melakukan gerakannya di Solo. Mereka menculik Komandan Brigade 6 Kolonel Azahari, Kepala Staf Brigade 6 Letnan Kolonel Parwoto, Kepala Staf Kodim 735 Mayor Soeparman, Komandan Polisi Militer Detasemen Surakarta Kapten Prawoto dan Komandan Batalion M, Mayor Darso, seperti diberitakan dalam Koran Panji Edisi 6 tahun 2015.
Selain melakukan penculikan, mereka juga melakukan pendudukan terhadap kantor RRI. Telekomunikasi, dan Bank-Bank Negara. Bahkan pada tanggal 2 Oktober tahun 1965, Walikota Solo, Oetomo Ramelan, melalui RRI mengumumkan dukungannya kepada G30S/PKI.
Menurut salah satu saksi sejarah peristiwa pemberontakan PKI, Moedrick Sangidu, mengatakan “Menjelang peristiwa tahun 1965 sedikitnya ada 23 orang yang dibunuh secara terbuka di bundaran Gladak, dan lebih dari 285 umat Muslim di Boyolali dan Klaten juga dibunuh secara sadis,”. Katanya. Penguasaan pemeintahan oleh PKI di Kota Solo bisa ditumpas setelah adanya gerakan pengambil alihan kekuasaan oleh ABRI
Seperti diketahui pula, Dipa Nusantara Aidit, Ketua Comite Central PKI juga berhasil ditangkap d di daerah Sambeng, Solo, melihat perjalanan sejarah panjang komunisme di Solo tak heran jika kembali ingin merebut kekuasaan di Indonesia, PKI perlu terlebih dahulu menguasai Solo, yang sejarahnya merupakan kota basis PKI.
Sementara menyoal perkembangan Kristenisasi, mengutip Arif Wibowo, Peneliti Pusat Studi Peradaban Islam [PSPI], dapat dilihat pula sebelum tahun 1965 presentase jumlah umat Kristen se-Surakarta tak sampai 20 %, namun pasca G30S/PKI, menurut Mc. Ricklefs, hingga tahun 1990 presentase jumlah umat Kristen se-Surakarta mencapai angka 25 %
M.C Ricklefs dalam buku Mengislamkan Jawa : Sejarah Islamisasi di Jawa dan Penentangnya dari 1930 sampai sekarang, hal 250 dengan mengutip Avey T Willis, Indonesian Revival : Why two million came to Christ, menunjukkan antara tahun 19760 – 1971, jumlah jemaat dari 5 denominasi Protestan yang menjadi subyek kajian Willis tumbuh secara fenomenal dari 96.872 menjadi 311.778, sebuah peningkatan lebih dari 220 %. Pada tahun 1965-1967, tingkat pertumbuhan tahunannya adalah 27,6 %, sementara pada tahun 1968-1971, tingkat pertumbuhannya 13,7 %. Sebagian besar peralihan keyakinan atau konversi di dalam kajiannya terjadi secara berkelompok. Individu-individu, biasanya adalah pemimpin desa, berbicara diantara mereka, mengenai kemungkinan menjadi orang Kristen secara bersama-sama. Kadang mereka melakukannya sebagai suatu.
Avery T Willis, seorang missionaris asal Amerika yang menjadi missionaries di Indonesia sejak tahun 1964 dan memimpin Seminari Teologi Baptis Indonesia menyebutkan ada 11 faktor yang menyebabkan perpindahan massal keagamaan ke agama Kristen/ Katolik ini. 3 diantaranya berkait dengan posisi pengikut PKI yang secara psikologis mengalami ketertindasan akibat agitasi lawan-lawan politiknya, yang berhasil dimanfaatkan oleh para rohaniawan Kristen dan Katolik. Pertama, Reaction Factor, reaksi berlebihan dari sebagian pemimpin kelompok Islam terhadap orang-orang Islam statistik yang menjadi anggota dan simpatisan PKI telah mendorong orang-orang itu menoleh ke tempat lain untuk memperoleh bantuan spiritual dan perlindungan politik. Kedua, Protection Factor, Perlindungan gereja terhadap orang-orang yang dituduh PKI dan orang yan g belum beragama secara sungguh-sungguh, dari pembunuhan dan kehilangan status sosialnya telah memberi rasa simpati banyak orang untuk memeluk Kristen. Ketiga, Service, perhatian dan pelayanan dari lembaga gereja, termasuk di dalamnya pendidikan, bantuan medis dan kebutuhan fisik lainnya, telah mendorong orang-orang untuk tertarik dan masuk ke agama Kristen.
Yang paling terbaru dari gerakan kristenisasi adalah aksi Show of Force nya dengan melakukan pawai Salib di Kota Solo, Selain itu terkait dengan pembangunan Rumah Sakit Siloam 23 lantai yang akan dibangun di Jl.Honggowongso tepat di selatan SMA Kristen 1 Solo, yang mana Yayasan Siloam dikenal merupakan Yayasan Kristen yang cukup agresif melakukan misi penginjilan. Sementara yang masih berlangsung hingga kini, adalah upaya-upaya pendirian Gereja secara illegal, misalnya seperti kasus GIDI di Joyontakan. [IZ]