Oleh: Hartono Ahmad Jaiz
(Panjimas.com) – Berdasarkan Surat Keputusan No. Kep-359/MUI/IX/2015 tentang Susunan dan Personalia Pengurus Komisi-Komisi Dewan Pimpinan MUI Pusat Masa Khidmat 2015-2020, Abdul Moqsith diangkat menjadi Wakil Sekretaris Komisi Kerukunan Antarumat Beragama (KAUB).
Komisi Kerukunan Antarumat Beragama (KAUB) sendiri diketuai oleh Drs Choirul Fuad Yusuf MA, yang juga Kepala Pusat Litbang Lektur dan Khasanah Keagamaan Kementerian Agama.
Selain Moqsith, Wakil Sekretaris Umum LDII H. Hasyim Nasution juga mejabat sebagai wakil ketua komisi ini. Sementara sekretaris komisi dijabat oleh seorang peneliti Balitbang dan Diklat Kemenag, Dr Zainuddin Daulay, menurut berita si online, Selasa, (29/09/2015).
JIL adalah salah satu bagian dari kelompok liberal yang telah difatwakan haramnya oleh MUI 2005. Demikian pula LDII direkomendasikan oleh MUI 2005 untuk dibubarkan oleh pemerintah, disejajarkan dengan Ahmadiyah yang dinyatakan ajarannya sesat, menyimpang dari ajaran Islam dan meresahkan masyarakat.
MUI kali ini pimpinan Ma’ruf Amin jelas menjilat ludahnya, karena dalam rekomendasinya tahun 2005 jelas tertulis:
Kepengurusan MUI hendaknya bersih dari unsur aliran sesat dan faham yang dapat mendangkalkan aqidah. (Himpunan Keputusan Musyawarah Nasional VII Majelis Ulama Indonesia, Tahun 2005, halaman 90, Rekomendasi MUI poin 7, Ajaran Sesat dan Pendangkalan Aqidah).
***
Inilah di antara pendapat sesat dan dusta Abdul Moqsith Ghazali ketika Berhadapan dengan Hartono Ahmad Jaiz di UIN Jakarta 2005
Abdul Moqsith Ghazali MA adalah dosen/alumni UIN Jakarta yang juga termasuk penyusun CDL KHI (Counter Draft Legal Kompilasi Hukum Islam) pimpinan Dr Musdah Mulia yang telah dicabut Menteri Agama karena isinya meresahkan dan bertentangan dengan Islam.
Moqsith Pentolan JIL liberal itu menyuarakan penyesatan secara nyata di antaranya ketika berhadapan dengan Hartono Ahmad Jaiz penulis buku Ada Pemurtadan di IAIN dalam bedah buku itu di UIN Jakarta, Sabtu 16 April 2005 bertepatan dengan tanggal 7 Rabi’ul Awwal 1426 Hijriah.
Saat itu Moqsith bertandang bersama pentolan JIL, Ulil Abshar Abdalla.
Inilah di antara kedustaan Moqsith dan pendapat sesatnya dalam kesempatan itu.
Gagal memberikan cap buruk tentang akhlaq penulis dan isi buku, karena tuduhan-tuduhan Moqsith dan Ulil itu tak sesuai fakta, maka lebih drastis lagi, Moqsith membela ajakan dzikir dengan lafal “anjing hu akbar”, dengan mengemukakan bahwa dzikir dengan lafal “anjing hu akbar” pun kalau niatnya… (tidak jelas suara Moqsith karena suara hadirin gemuruh) maka bisa meninggikan maqamnya (maqam di sisi Iblis…, red). Ungkapan itu menjadikan para hadirin berteriak gemuruh, menyiratkan kejengkelan karena justru keluar betul keaslian produk IAIN yang diangkat jadi dosen ternyata seburuk itu pemikirannya dan keyakinannya. Bagaimana lagi para mahasiswa asuhannya nanti.??
Ulil berani menolak hadits shohih, walaupun dirinya mengakui bahwa hadits itu shohih, hanya karena keberanian menurut dirinya. Ulil juga mengakui bahwa dirinya menulis di Kompas, tidak ada hukum Tuhan. Maka Muhamad At-Tamimi (yang saat itu ada di samping Hartono Ahmad Jaiz) menyebut Ulil sebagai orang gila pertama dan Moqsith orang gila kedua. Karena Allah swt telah menurunkan wahyu tetapi ditolak dan disebut tidak ada hukum Tuhan. Ini jelas murtad, kufur. Berbohong atau memutar balikkan
Kebohongan yang dilontarkan, di antaranya Moqsith mengemukakan bahwa penulis buku ini sampai menulis: Si jompo Sinta Nuriyah. “Penulis ini akhlaqnya masih akhlaq orang beriman atau tidak. Kalau orang beriman tentunya tidak menulis seperti itu,” kata Moqsith.
Kebohongan itu dijawab oleh Hartono Ahmad Jaiz (penulis), bahwa di buku Ada Pemurtadan di IAIN ini tidak ada tulisan yang bunyinya si jompo. Yang ada hanyalah penjelasan tentang keadaan, yaitu yang sudah jompo. Lantas, lanjut Hartono, “yang tidak berakhlaq itu yang mengubah perkataan ini atau siapa?”
Dan juga, “orang yang mengajak berdzikir dengan lafal “anjing hu akbar” (di IAIN Bandung) malah dibela. Kemudian orang yang tidak menulis “si jompo” dikatakan menulis “si jompo” dan dianggap tidak berakhlaq. Ini yang tak berakhlaq dan imannya perlu dipertanyakan itu siapa.”
Kebohongan yang kedua namun tidak sempat dibantah karena sempitnya waktu, adalah perkataan Moqsith bahwa Imam Ahmad dalam Kitab Mizanul Kubro (karangan As-Sya’roni) disebutkan, menurut pendapat Imam Ahmad, aurat wanita itu hanyalah qubul dan dubur (kemaluan depan dan belakang).
Perlu dikemukakan dalam tulisan ini, Moqsith yang dosen dan alumni UIN Jakarta itu apakah ingin mengkampanyekan agar wanita-wanita di bumi ini bertelanjang atau bagaimana, yang jelas dia dalam membela IAIN itu telah menyembunyikan sesuatu.
Perlu diketahui, dalam kitab Mizanul Kubro itu dijelaskan, ada wanita merdeka (al-hurroh) dan wanita budak (al-ammah). Aurat wanita merdeka adalah seluruh tubuhnya, kecuali mukanya dan kedua telapak tangannya, menurut pendapat Malik, Syafi’i, dan Ahmad dalam salah satu dari dua riwayatnya. Menurut Abu Hanifah, seluruh tubuh wanita adalah aurat kecuali mukanya, dua telapak tangannya, dan dua telapak kakinya. Riwayat lain dari Ahmad, (seluruh tubuh wanita adalah aurat) kecuali mukanya saja. (Al-Mizanul Kubro Juz 1, halaman 170, cetakan I, Darul Fikr Beirut, dalam hal syarat sahnya sholat tentang menutup aurat). Aurat wanita budak (al-ammah) dalam sholat adalah antara pusarnya dan lututnya seperti aurat laki-laki. Ini menurut pendapat Malik, Syafi’i, dan salah satu riwayat dari Ahmad; dan riwayat yang lain bahwa auratnya (wanita budak/al-ammah) adalah qubul dan dubur saja. (ibid). Dalam Kitab Mizanul Kubro itu dijelaskan, yang diamalkan oleh salafus sholih adalah yang pertama (aurat budak wanita, antara pusar dan lutut) karena tidak adanya syahwat untuk melihat budak wanita di luar sholat, lebih-lebih ketika sholat. (ibid).
Imam Ahmad dalam Kitab Mizanul Kubro bab shalat itu dikutip pendapatnya bahwa aurat wanita merdeka (al-hurrah) adalah seluruh tubuhnya kecuali muka dan dua telapak tangannya atau bahkan seluruh tubuh kecuali muka saja
Perlu dijelaskan kebohongan Moqsith dengan kenyataan, bahwa wanita sekarang, pengertiannya ya wanita yang disebut al-hurroh itu. Lalu kok bisa-bisanya Moqsith Ghozali dosen dan alumni UIN Jakarta ini mengatakan bahwa Imam Ahmad dalam Kitab Mizanul Kibro, berpendapat bahwa aurat wanita itu hanyalah qubul dan dubur. Itulah cara berbohong untuk mengkampanyekan agar wanita sekarang yang sebagian mereka sudah memperlihatkan pusarnya itu agar lebih bertelanjang lagi.
Kebohongan ketiga, Moqsith menganggap Hartono Ahmad Jaiz melanggar prinsip-prinsip dasar Al-Qur’an, karena Hartono mengharamkan nikah beda agama. Perkataan itu sendiri sudah menyembunyikan sesuatu. Dalam buku itu sudah ditulis, yang dipersoalkan adalah wanita muslimah dinikahi lelaki kafir, Non Islam, Yahudi-Nasrani dan lainnya. Juga lelaki Muslim menikahi wanita Konghucu. Lalu Moqsith mengatakan bahwa tidak ada ayat yang mengharamkan nikah beda agama. Itu juga menyembunyikan ayat, hingga dibantah dengan seru oleh seorang pemuda/mahasiswa secara spontan dengan mengacungkan Al-Qur’an. Kalau Moqsith tidak menolak Al-Qur’an, tentunya mau mengakui, Ayatnya sudah jelas, QS 60: 10, QS 2: 221, dan tentang kafirnya Ahli Kitab dalam Surat Al-Bayyinah ayat 6.
Dengan cara menyembunyikan ayat, hingga justru menghalalkan nikah beda agama (seperti yang telah disebutkan itu) adalah satu bukti justru adanya faham yang dihembuskan dari UIN Jakarta adalah yang menentang ayat Al-Qur’an itu.
Membela kekufuran dengan kekufuran
Lebih nyata lagi ketika Moqsith membela IAIN dengan faham kekufuran. Yaitu kilah bahwa IAIN tidak mengadakan pemurtadan tetapi pluralisasi penafsiran.
Lalu yang diangkat sebagai contoh adalah faham Ikhwanus Shofa’ yang tidak perlu melaksanakan yang fardhu-fardhu/wajib-wajib dan cukup dengan bertasbih.
Hartono Ahmad Jaiz membalikkan kepada Moqsith, justru faham yang tidak perlu mengerjakan yang fardhu-fardhu/wajib-wajib itulah yang sebenar-benarnya kekafiran. Dan itu sudah dikemukakan kekafirannya dalam Kitab Tafsir Al-Qurthubi dan Imam Ibnu Taimiyyah dalam Majmu’ Al-Fatawa.
Yang dimaksud Hartono itu adalah apa yang ditulis Imam Al-Qurthubi yang dimulai dengan menukil ulasan gurunya, al-Imam Abu al-’Abbas, mengenai golongan ahli kebatinan yang dihukumi sebagai zindiq yaitu: “Mereka itu berkata: Hukum-hukum syara’ yang umum adalah untuk para nabi dan orang awam. Adapun para wali dan golongan khusus tidak memerlukan nas-nas (agama), sebaliknya mereka hanya dituntut dengan apa yang terdapat dalam hati mereka. Mereka berhukum berdasarkan apa yang terlintas dalam fikiran mereka.”
Golongan ini juga berkata: “Ini disebabkan kesucian hati mereka dari kekotoran dan keteguhannya maka terjelmalah kepada mereka ilmu-ilmu ilahi, hakikat-hakikat ketuhanan, mereka mengikuti rahasia-rahasia alam, mereka mengetahui hukum-hukum yang detil, maka mereka tidak memerlukan hukum-hukum yang bersifat umum, seperti yang berlaku kepada Khodhir (Khidhir, terkenalnya di Indonesia, red). Mencukupi baginya (Khodhir) ilmu-ilmu yang terbuka (tajalla) kepadanya dan tidak memerlukan apa yang ada pada kefahaman Musa.” Golongan ini juga menyebut: “Mintalah fatwa dari hatimu sekalipun engkau telah diberikan fatwa oleh para penfatwa.”
Selanjutnya al-Qurtubi mengulas dakwaan-dakwaan ini dengan berkata: “Kata guru kami r.a.: Ini adalah perkataan zindiq dan kufur, dibunuhlah siapa pun yang mengucapkannya dan dia tidak diminta taubatnya, karena dia telah ingkar terhadap apa yang diketahui dari syariat. Sesungguhnya Allah telah menetapkan jalan-Nya dan melaksanakan hikmah-Nya bahwa hukum-hukum-Nya tidak diketahui melainkan melalui perantaraan rasul-rasul yang menjadi para utusan antara Allah dan makhluk-Nya. Mereka adalah penyampai risalah dan perkataan-Nya serta pengurai syariat dan hukum-hukum. Allah memilih mereka untuk itu dan mengkhususkan urusan ini hanya untuk mereka.”
“Telah menjadi ijma’ salaf dan khalaf bahwa tidak ada jalan mengetahui hukum-hukum Allah yang berhubungan dengan suruhan dan larangan-Nya walaupun sedikit, melainkan melalui para Rasul. Maka siapa yang berkata “Disana ada cara lain untuk mengetahui suruhan dan larangan Allah tanpa melalui para rasul atau tidak memerlukan para rasul” maka dia adalah kafir, dihukum bunuh tidak diminta bertaubat, dan tidak diperlukan untuk tanya jawab dengannya (al-Jami’ li Ahkam al-Quran jilid 11, halaman 40-41, cetakan Dar al-Fikr, Beirut).
Uraian lengkap tentang perdebatan antara Moqsith plus Ulil berhadapan dengan Hartono Ahmad Jaiz di UIN jakarta 2005 itu dapat dilihat di rekaman VCD yang direkam penonton namun beredar luas, dan dapat diakses di nahimunkar.com.
Menyoal diangkatnya Moqsith yang pendapatnya sangat menyimpang itu jadi pengurus MUI
Setelah kita mengetahui betapa jauhnya kesesatan Moqsith yang diantaranya mengusung penghalalan nikah yang diharamkan Allah ta’ala yakni wanita Muslimah dinikahi lelaki kafir, atau lelaki kafir menikahi wanita musyrikat (Ayatnya sudah jelas, QS 60: 10, QS 2: 221); namun kini Moqsith diangkat jadi pengurus MUI.
Padahal MUI jelas telah mengeluarkan fatwa tentang haramnya faham Liberalisme.