Oleh: Hj. Irena Handono (Mantan Penginjil)*
(Panjimas.com) – Meski sejumlah nasehat dan himbauan dari para ulama, ustadz dan ustadzah tentang Valentine Day selalu didengungkan setiap bulan Februari, namun ternyata masih banyak orang tua yang masih berpemahaman salah tentang Valentine Day. Valentine Day hanya dianggap sebagai budaya remaja modern saja. Padahal ada bahaya besar di balik Valentine Day yang siap menerkam para remaja. Ini yang tidak disadari oleh para orang tua.
Ironinya, setiap bulan Februari, para remaja yang notabene mengaku beragama Islam justru ikut-ikutan sibuk mempersiapkan perayaan Valentine Day. Walau banyak ustadz dan ustadzah memperingatkan nilai-nilai aqidah Kristen yang dikandung dalam peringatan tersebut, namun hal itu tidak terlalu dipusingkan oleh mereka. “Aku ngerayain Valentine kan buat fun-fun aja…,” begitu kata mereka.
Tanggal 14 Pebruari dikatakan sebagai ‘Hari Kasih Sayang’. Apa benar? Mari Kita Tilik Sejarahnya
Siapakah Valentine?
Tidak ada kejelasan, siapakah sesungguhnya yang bernama Valentine. Beragam kisah dan semuanya hanyalah dongeng tentang sosok Valentine ini. Tetapi setidaknya ada tiga dongeng yang umum tentang siapa Valentine.
Pertama, St Valentine adalah seorang pemuda bernama Valentino yang kematiannya pada 14 Februari 269 M karena dieksekusi oleh Raja Romawi, Claudius II (265-270). Eksekusi yang didapatnya ini karena perbuatannya yang menentang ketetapan raja, memimpin gerakan yang menolak wajib militer dan menikahkan pasangan muda-mudi, yang hal tersebut justru dilarang. Karena pada saat itu aturan yang ditetapkan adalah boleh menikah jika sudah mengikuti wajib militer.
Kedua, Valentine seorang pastor di Roma yang berani menentang Raja Claudius II dengan menyatakan bahwa Yesus adalah Tuhan dan menolak menyembah dewa-dewa Romawi. Ia kemudian meninggal karena dibunuh, dan oleh gereja dianggap sebagai orang suci.
Ketiga, seorang yang meninggal dan dianggap sebagai martir, terjadi di Afrika di sebuah provinsi Romawi. Meninggal pada pertengahan abad ke-3 Masehi. Dia juga bernama Valentine.
Ucapan ”Be My Valentine”
Ken Sweiger dalam artikel “Should Biblical Christians Observe It?” mengatakan bahwa kata “Valentine” berasal dari Latin yang berarti : “Yang Maha Perkasa, Yang Maha Kuat dan Yang Maha Kuasa”. Kata ini ditujukan kepada Nimrod dan Lupercus, Tuhan orang Romawi. Maka disadari atau tidak, tulis Ken Sweiger, jika kita meminta orang menjadi “to be my Valentine”, hal itu berarti melakukan perbuatan yang dimurkai Tuhan (karena memintanya menjadi “Sang Maha Kuasa”) dan menghidupkan budaya pemujaan kepada berhala.
Dalam Islam hal ini disebut syirik, artinya menyekutukan Allah Subhanaahu wa Ta’ala. Adapun Cupid (berarti: the desire), si bayi bersayap dengan panah adalah putra Nimrod “the hunter” dewa Matahari. Disebut Tuhan Cinta, karena ia rupawan sehingga diburu wanita bahkan ia pun berzina dengan ibunya sendiri!
Tradisi Penyembah Berhala
Sebelum masa kekristenan, masyarakat Yunani dan Romawi beragama Pagan, yakni menyembah banyak Tuhan atau Paganis-Polytheisme. Mereka memiliki perayaan atau pesta yang dilakukan pada pertengahan bulan Februari yang sudah menjadi tradisi budaya mereka. Dan gereja menyebut mereka sebagai kaum Kafir.
Di zaman Athena Kuno, perayaan tersebut disebut sebagai bulan GAMELION. Yakni masa menikahnya ZEUS dan HERA. Sedangkan di zaman Romawi Kuno, disebut hari raya LUPERCALIA sebagai peringatan terhadap Dewa LUPERCUS, dewa kesuburan yang digambarkan setengah telanjang dengan pakaian dari kulit domba.
Perayaan ini berlangsung dari 13 hingga 18 Februari, yang berpuncak pada tanggal 15. Dua hari pertama (13-14 Februari) dipersembahkan untuk Dewi Cinta (Queen of Feverish Love) Juno Februata. Di masa ini ada kebiasaan yang digandrungi yang disebut sebagai Love Lottery/Lotre pasangan, di mana para wanita muda memasukkan nama mereka dalam sebuah bejana kemudian para pria mengambil satu nama dalam bejana tersebut yang kemudian menjadi kekasihnya selama festival berlangsung. Seiring dengan invasi tentara Roma, tradisi ini menyebar dengan cepat ke hampir seluruh Eropa.
Hal ini menjadi penyebab sulitnya penyebaran agama Kristen yang saat itu tergolong sebagai agama baru di Eropa. Sehingga untuk menarik jemaat masuk ke Gereja, maka diadopsilah perayaan Kafir pagan ini dengan memberi kemasan kekristenan. Maka Paus Gelasius I pada tahun 469 M mengubah upacara Roma Kuno Lupercalia ini menjadi Saint Valentine’s Day.
Ini adalah upaya Gelasius menyebarkan agama kristen melalui budaya setempat. Menggantikan posisi dewa-dewa Pagan dan mengambil St Valentine sebagai sosok suci lambang cinta. Ini adalah bentuk sinkretisme agama, mencampuradukkan budaya Pagan dalam tradisi Kristen. Dan akhirnya diresmikanlah Hari Valentine oleh Paus Gelasius pada 14 Februari di tahun 498.
Bagaimanapun juga, lebih mudah mengubah keyakinan masyarakat setempat jika mereka dibiarkan merayakan perayaan di hari yang sama hanya saja diubah ideologinya. Umat Kristen meyakini St Valentino sebagai pejuang cinta kasih. Melalui kelihaian missionaris, Valentine’s Day dimasyarakatkan secara internasional.
Jelas sudah, Hari Valentine sesungguhnya berasal dari tradisi masyarakat di zaman Romawi Kuno, masyarakat Kafir yang menyembah banyak Tuhan dan juga berhala. Dan hingga kini, Gereja Katholik sendiri tidak bisa menyepakati siapa sesungguhnya St Valentine. Meskipun demikian, perayaan ini juga dirayakan secara resmi di Gereja Whitefriar Street Carmelite di Dublin-Irlandia.
Perayaan Valentin di Indonesia
Valentine’s Day disebut ‘Hari Kasih Sayang’, dan disimbolkan dengan kata ‘LOVE’. Padahal kalau kita mau jeli, kata ‘kasih sayang’ dalam bahasa inggris bukan ‘love’ tetapi ‘Affection’. Tapi mengapa di negeri-negeri muslim seperti Indonesia dan Malaysia, menggunakan istilah Hari Kasih Sayang. Ini penyesatan.
Makna ‘love’ sesungguhnya adalah sebagaimana sejarah GAMELION dan LUPERCALIA pada masa masyarakat penyembah berhala, yakni sebuah ritual seks/perkawinan. Jadi Valentine’s Day memang tidak memperingati kasih sayang tapi memperingati love/cinta dalam arti seks. Atau dengan bahasa lain, Valentine’s Day adalah HARI SEKS BEBAS.
Dan pada kenyataannya, tradisi seks bebas inilah yang berkembang saat ini di Indonesia. Padahal di Eropa sendiri, tradisi ini mulai ditinggalkan. Maka, semua ini adalah upaya pendangkalan aqidah generasi muda Islam.
Inilah yang dikatakan Samuel Zweimer dalam konferensi gereja di Quds (1935): “Misi utama kita bukan menghancurkan kaum Muslim. Sebagai seorang Kristen tujuan kalian adalah mempersiapkan generasi baru yang jauh dari Islam, generasi yang sesuai dengan kehendak kaum penjajah, generasi malas yang hanya mengejar kepuasan hawa nafsu”. [GA/ufs]
* Sekilas Tentang Hj. Irena Handono
Irena Handono atau Irene Handono (lahir di Surabaya, Jawa Timur, 20 Juli 1954) merupakan seorang ustadzah asal Indonesia.
Terlahir dari keluarga keturunan Tionghoa yang beragama Katolik taat, Irena mendalami ilmu agama sejak usia dini. Saat remaja ia aktif sebagai salah satu pengurus di organisasi gereja. Ia lantas memutuskan untuk menjadi seorang ahli agama dengan kuliah di Instituit Filsafat Teologia sekaligus juga belajar menjadi seorang biarawati.
Saat kuliah di Instituit Filsafat Teologia Irena kemudian sedikit banyak mengenal tentang agama Islam ketika ia mengambil mata kuliah Islamologi.
Perkenalannya dengan agama Islam kemudian membawanya untuk lebih memahami seluk beluk agama tersebut sampai akhirnya pada tahun 1983 ia memutuskan untuk beralih agama ke Islam dengan mengucap syahadat di Mesjid Al-Falah Surabaya.
Usai memeluk agama Islam, Irena kemudian aktif di beberapa lembaga Islam, diantaranya ICMI dan juga mendirikan Irena Center dimana ia menjadi ketuanya sampai saat ini.
Alamat: IRENA CENTER, Jl. Taman Villa Baru, Blok A no. 26 Bekasi-Jawa Barat, Telp. 88860647