PANJIMAS.COM – Berikut ini merupakan tulisan lengkap pakar sekaligus peneliti paham dan aliran sesat di Indonesia, Ustadz Hartono Ahmad Jaiz. Tulisan ini diambil daru buku yang ditulisnya sendiri berjudul “Nabi-nabi palsu dan Para Penyesat Umat” yang diterbitkan Pustaka Al-Kautsar pada tahun 2008.
Tulisan inilah yang beredar di jejaring sosial Facebook kemudian dikaitkan oleh media mainstream dalam pemberitaan bahwa ISIS mengancam akan menghancurkan Borobudur. (Baca: Klarifikasi Ustadz Hartono Ahmad Jaiz terkait Berita ISIS Ancam Ledakkan Borobudur)
Ustadz Hartono pun telah melakukan klarifikasi bahwa berita tersebut sepenuhnya tidak benar. Tidak ada dalam tulisan tersebut yang menyinggung tentang patung candi Borobudur, apalagi rencana meledakkannya. Sebagai bukti kongkrit, berikuti ini tulisan lengkapnya.
Proyek Patung di Indonesia Penghamburan Dana Demi Menabung Dosa
Oleh: Hartono Ahmad Jaiz
Patung-patung dalam riwayatnya sudah jadi alat untuk mengubah agama Tauhid menjadi kemusyrikan. Amru bin Luhayyi telah mengubah Agama Nabi Ibrahim dan Isma’il alaihimas salam dari Tauhid kepada penyembahan patung-patung yang dipasang di sekitar Ka’bah. Semula patung yang dia bawa ke Makkah itu adalah sisa-sisa patung orang musyrikin zaman Nabi Nuh alaihis salam yang para penyembahnya telah musnah diadzab Allah Subhanahu wa Ta’ala karena kemusyrikannya.
Ketika patung-patung itu masih tersisa, walau para penyembahnya sudah musnah diadzab Allah dengan banjir besar ribuan tahun lalu, namun kemudian sisa-sisa berhala-berhala itu dibawa orang yaitu Amru bin Luhayyi ke Makkah, lalu ditumbuhkan lagi penyembahan terhadap berhala-berhala. Sehingga di sekitar Ka’bah terdapat 360 berhala. Ini benar-benar pelajaran yang nyata tentang betapa bahayanya sisa-sisa kemusyrikan itu. Pusat agama Tauhid, bisa diubah menjadi pusat kemusyrikan. Sedangkan yang berusaha membawa patung itu tadi semula hanya satu orang.
Bayangkan kalau di Indonesia ini, patung-patung justru jadi proyek, dibuat dengan dana dari hasil (pajak dan sebagainya dari) penduduk yang mayoritasnya Muslim. Sedang patung-patung itu bukan hanya di satu tempat, namun di berbagai tempat, bahkan mungkin tiap daerah dan tiap periode kepemimpinan ada saja yang mengadakan proyek pembuatan patung.
Hendaknya umat Islam sangat berhati-hati, lebih-lebih para penguasa yang di masa buku ini ditulis (2007M/ 1428H), menurut pendapat umum, para penguasa memakai aji mumpung yaitu mumpung berkuasa. Maka biasanya mereka membuat proyek-proyek, yang menurut rahasia umum, dari proyek-proyek itu sebagian dananya bisa masuk kantong. Jadi makin banyak proyek yang mereka ciptakan maka kemungkinan kantong mereka makin tebal. Sebaliknya, kondisi negeri ini diketahui umum bahwa hutangnya sangat besar.
Di antara proyek-proyek itu ada juga yang berupa pembuatan patung-patung dipasang di mana-mana. Bahkan ada tokoh Islam di Karanganyar Solo Jawa Tengah yang mengeluh kepada saya, bahwa bupatinya (kepala daerah tingkat dua di bawah propinsi), seorang perempuan, membuat proyek berupa membawa arca-arca dari Bali (tempat orang-orang Hindu Bali) ke daerahnya, maka dikhawatirkan adanya orang yang menyembah berhala gara-gara pejabat di daerahnya memasang patung-patung yang didatangkan dari Bali entah untuk apa yang disebut pariwisata atau apa itu. Ini walaupun pembuat proyek pemasangan patung yang didatangkan dari Bali itu masih mengaku dirinya Muslimah, namun telah mengakibatkan adanya penyembahan berhala.
Patung-patung yang dipasang di mana-mana, di saat patung itu belum disembah, sering membuat risih. Contoh, ketika zaman Presiden Soeharto dengan Menteri Agama Munawir Syadzali, Ketua Umum MUI (Majelis Ulama Indonesia) KH Hasan Basri dengan Ketua Komisi Fatwa MUI Ibrahim Hosen, para ulama dari dunia Islam berdatangan ke Indonesia untuk membahas Kalender Hijriyah Internasional (sebagaimana setiap sekian tahun diadakan musyawarah di negeri lain dengan berpindah-pindah). Para ulama dari berbagai negeri Islam itu nampak keheranan. Kenapa Indonesia dikenal negeri yang mayoritas penduduknya Muslim, tetapi pemandangan yang dilihat para ulama dari berbagai negeri itu begitu mereka menginjakkan kaki di Bandara Cengkareng Jakarta (internasional) sampai di hotel yang ditempati untuk membahas Kalender Hijriyah ternyata banyak patung-patung alias berhala. Apakah tidak ada ulamanya, Indonesia ini?
Mungkin para ulama dari berbagai negeri itu akan lebih heran lagi, seandainya (saat itu) ada yang membawa para ulama itu ke calon kuburan pemimpin Indonesia (Soeharto) di perbukitan Mangadeg Matesih, timur Solo Jawa Tengah. Di sepanjang jalan yang naik ke perbukitan itu, kiri dan kanan dipasangi patung-patung wadyabala kera dalam legende Ramayana (bukan dari Islam). Ada Hanoman, Subali, Sugriwa dan sebagainya, yang rata-rata berwajah kera menganga. Jadi kalau kita berjalan kaki menuju ke perbukitan itu seakan disambut oleh patung-patung kera itu yang berdiri di sepanjang pagar kanan kiri jalan.
Dengan adanya contoh seperti itu, maka para penguasa dari pusat sampai daerah-daerah ada saja yang membuat proyek pembuatan patung. Demikian pula pengusaha dan lainnya.
Seorang da’i yang kini menjadi salah satu ketua MUI (Majelis Ulama Indonesia) pernah mengeluh, dia berkhutbah di suatu hotel di Jakarta. Di sisi mimbar itu ada sesuatu yang dibungkus kain di hadapan para jama’ah Jum’at itu. Ternyata yang dibungkus kain itu adalah berhala.
Hadits tentang Nabi Palsu dan Penyembahan Berhala
Berhati-hatilah wahai umat Islam, terutama pejabat dan pengusaha. Meskipun sekarang patung-patung itu belum disembah, tetapi apa yang telah diadakan itu, mungkin sekali nantinya disembah. Atau mungkin dipindahkan ke lain tempat seperti yang dilakukan oleh bupati perempuan di Karanganyar Solo Jawa Tengah itu, yang ternyata kemudian patungnya disembah.
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sudah memperingatkan:
وَلاَ تَقُومُ السَّاعَةُ حَتَّى يَلْحَقَ قَبَائِلُ مِنْ أُمَّتِى بِالْمُشْرِكِينَ حَتَّى تَعْبُدَ قَبَائِلُ مِنْ أُمَّتِى الأَوْثَانَ وَإِنَّهُ سَيَكُونُ فِى أُمَّتِى كَذَّابُونَ ثَلاَثُونَ كُلُّهُمْ يَزْعُمُ أَنَّهُ نَبِىٌّ وَأَنَا خَاتَمُ النَّبِيِّينَ لاَ نَبِىَّ بَعْدِى وَلاَ تَزَالُ طَائِفَةٌ مِنْ أُمَّتِى عَلَى الْحَقِّ ظَاهِرِينَ لاَ يَضُرُّهُمْ مَنْ خَالَفَهُمْ حَتَّى يَأْتِىَ أَمْرُ اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ
Dan Qiyamat tidak terjadi sebelum ada kabilah-kabilah dari umatku mengikuti orang-orang musyrik sehingga kelompok-kelompok dari umatku menyembah berhala-berhala. Dan sesungguhnya akan ada di antara umatku tiga puluh pendusta yang semuanya mengaku sebagai nabi. Padahal aku adalah penutup para nabi, tidak ada nabi sesudahku. Dan (tetapi) akan tetap ada dari umatku segolongan yang tegak membela kebenaran (al-haq) dan mendapat pertolongan (dari Allah), mereka tidak tergoyahkan oleh orang-orang yang menyelisihi (dan menghinakan) mereka, sampai datang keputusan Allah ‘Azza wa Jalla (yaitu kematian seluruh orang mukmin menjelang Qiyamat dengan datangnya angin yang mengakibatkan matinya setiap mukmin). (HR Ahmad, Muslim, Abu Dawud, At-Tirmidzi, dan Ibnu Majah, dari Tsauban, ditakhrij oleh Imam As-Suyuthi, dishahihkan oleh Al-Albani).
Pendusta-pendusta yang mengaku nabi sudah bermunculan di Indonesia seperti Lia Eden dengan agama Salamullah yang kemudian dinamakan kerajaan Eden, mengaku dirinya salah satu dari Tuhan-tuhan dan juga pasangan Jibril dan mendirikan agama seperti nabi. Dan di tahun 2007 ada juga Ahmad Moshaddeq dari suku Betawi (Jakarta) mengaku nabi, Al-Masih al-Maw’ud, sehingga syahadatnya diganti, bukan
وأشهد أن محمدا رسول الله
Tetapi
وأشهد أن المسيح الموعود رسول الله
Dan aku bersaksi bahwa Al-Masih al-Maw’ud adalah rasul Allah.
Unsur-unsur berikut ini perlu diperhatikan:
- Penyembah berhala padahal tadinya beragama Islam, sudah ada.
- Pendusta-pendusta yang mengaku nabi sudah bermunculan.
- Patung-patung makin banyak jumlahnya (karena sebagai proyek oleh penguasa dan pengusaha) hingga negerinya berpenduduk mayoritas Muslim, namun di mana-mana banyak patung-patung.
- Ancaman Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam atau yang dikhawatirkan sekali dalam sabdanya bahwa akan ada kelompok-kelompok yang menyembah berhala dari umat beliau.
- Yang akan mengikuti musyrikin untuk menyembah berhala itu bukan hanya satu kelompok, tetapi qabail, kabilah-kabilah, berbagai kelompok dari umat Islam, maka renungkanlah.
Apakah aman, bila patung-patung itu tetap ada? Apakah patung-patung yang kini belum disembah itu nantinya tidak akan disembah ketika mereka sudah menyembah patung? Dan apakah sekarang juga patung-patung itu belum disembah? Mungkin sudah diberi sesaji, entah kembang atau apa, itulah penyembahannya, dan itulah kemusyrikan, dosa tertinggi. Pelakunya tak diampuni bila ketika hidup belum taubat total. Sedang pembuatnya beserta orang-orang yang terlibat (pembuat proyek dengan aneka jajaran dan rangkaiannya) tentu saja mendapatkan dosanya, padahal dosa penyembahan patung itu dosa tertinggi, kemusyrikan.
Patung Reco Gladak
Sekadar untuk mengamati perkembangan dan penyebaran patung, coba kita simak.Mulai berkembangnya patung ke mana-mana, mari kita ambil contoh satu jenis patung namanya reco gladak. Ini adalahpatung gendut pendek, tangannya mengempit pentungan, nama tempatnya Gladak, maka disebut reco gladak artinya arca gladak, semula hanyalah ada di pojokan jalan protocol dekat alun-alun Keraton Solo (Surakarta) Jawa Tengah, Indonesia. Begitu ada kampanye pemilu (pemilihan umum untuk memilih wakil-wakil rakyat untuk duduk di DPR -Dewan Perwakilan Rakyat-) tahun 1971, patung dengan sebutan reco gladak itu kepalanya ditudungi kukusan (alat menanak nasi, anyaman bambu berbentuk segi tiga bulat) berlambangkan partai tertentu. Maka media massa memberitakannya secara nasional maupun lokal, dengan foto reco gladak yang bertudung kukusan berlambang partai tertentu.
Setelah itu tahu-tahu di Jakarta (dan mungkin di tempat-tempat lainnya) mulai bermunculan reco-reco gladak terutama di hotel-hotel. Betapa cepatnya arca gladak ituberanak pinak. Bukan sekadar seperti Amru bin Luhayyi membawa patung-patung sisa zaman Nabi Nuh as dari satu tempat ke Makkah lalu disembah ramai-ramai. Tetapi reco gladakini induknya masih tetap ada, sedang anak cucunya bertebaran di mana-mana dibuat orang.
Setelah reco gladak itu beranak pinak bertebaran di mana-mana, di tempatnya yang asli, Gladak Solo Jawa Tengah, dibangun patung lebih besar lagi, membangunnya saja sampai sekitar 6 bulan, namanya Patung Slamet Riyadi. Patung itu diresmikan Selasa 13 November 2007M kabarnya dielu-elukan (disambut dengan meriah) oleh para tokoh di sana. Patung itu di ujung atau pangkal dari jalan protokol kota Solo itu yang memang namanya Jl Raya Slamet Riyadi.
Dengan dibuatnya patung Slamet Riyadi itu maka komplitlah Kota Solo itu dengan sarana kemusyrikannya: Yang satu sudah lama ada, namanya Kyai Slamet, dan yang baru menyusul namanya Patung Slamet.
Kyai Slamet itu kerbau milik Keraton Solo yang dikeramatkan, dialap berkahnya(disikapi dengan tabarruk, mencari berkahnya). Setiap malam satu Suro (tanggal 1 Muharram, tahun baru Hijriyah), kerbau-kerbau yang dipercayai membawa berkah itu dilepas tengah malam. Manusia berjajar berderet-deret di pinggir jalan untuk menyaksikan atau bahkan mencari berkahnya, yaitu di antaranya adalah tainya (maaf). Mereka menunggu tai kerbau itu untuk dijadikan seperti jimat, sesuatu yang dianggap memberi manfaat bahkan berkah. Itulah kemusyrikan yang nyata.
Kemudian disusul Patung Slamet, yang dari zaman Nabi Nuh as pun sudah dikenal bahwa patung itu adalah berhala yang kemudian mereka sembah. Kalau sekarang belum disembah, pembuatannya itu sendiri sudah mengakibatkan siksa yang amat sangat dahsyat di Hari Qiyamat.
Berikut ini keterangan Ibnu Qudamah dalam Kitabnya, Al-Mughni, juz 7:
ج 7:( 5674 )فَصْلٌ : وَصَنْعَةُ التَّصَاوِيرِ مُحَرَّمَةٌ عَلَى فَاعِلِهَا ; لِمَا رَوَى ابْنُ عُمَرَ عَنْ النَّبِيِّ صلى الله عليه وسلم أَنَّهُ قَالَ : { الَّذِينَ يَصْنَعُونَ هَذِهِ الصُّوَرَ يُعَذَّبُونَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ , يُقَالُ لَهُمْ : أَحْيُوا مَا خَلَقْتُمْ } . وَعَنْ { مَسْرُوقٍ قَالَ : دَخَلْنَا مَعَ عَبْدِ اللَّهِ بَيْتًا فِيهِ تَمَاثِيلُ , فَقَالَ لَتِمْثَالٍ مِنْهَا : تِمْثَالُ مَنْ هَذَا ؟ قَالُوا : تِمْثَالُ مَرْيَمَ , قَالَ عَبْدُ اللَّهِ : قَالَ رَسُولُ اللَّهِ : إنَّ أَشَدَّ النَّاسِ عَذَابًا يَوْمَ الْقِيَامَةِ الْمُصَوِّرُونَ } . مُتَّفَقٌ عَلَيْهِمَا , وَالْأَمْرُ بِعَمَلِهِ مُحَرَّمٌ . كَعَمَلِهِ
Fasal: Pembuatan gambar-gambar/ patung-patung (bernyawa –manusia atau binatang) diharamkan atas pembuatnya, karena berdasarkan apa yang diriwayatkan Ibnu Umar dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bahwa beliau bersabda:
الَّذِينَ يَصْنَعُونَ هَذِهِ الصُّوَرَ يُعَذَّبُونَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ , يُقَالُ لَهُمْ : أَحْيُوا مَا خَلَقْتُمْ
Orang-orang yang membuat gambar-gambar/ patung-patung ini mereka disiksa di Hari Qiyamat, dikatakan kepada mereka: Hidupkanlah apa yang telah kamu ciptakan. (Muttafaq ‘alaih).
Dan riwayat dari Masruq, dia berkata: Kami bersama Abdullah masuk ke rumah yang di dalamnya ada patung-patung, maka dia berkata mengenai patung di antaranya: Patung siapa ini?
Mereka menjawab: Patung Mariam.
Abdullah berkata: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam telah bersabda:
إنَّ أَشَدَّ النَّاسِ عَذَابًا يَوْمَ الْقِيَامَةِ الْمُصَوِّرُونَ
Sesungguhnya manusia paling keras siksanya di Hari Qiyamat adalah pelukis-pelukis/ pematung-pematung. (Muttafaq ‘alaih).
Dan perintah untuk mengerjakannya diharamkan (pula) sebagaimana (keharaman) mengerjakannya. (Ibnu Qudamah, Al-Mughni, juz 7, fasal 5674).
Jadi bukan hanya pembuat patung-patung itu yang diancam adzab paling dahsyat di Hari Qiyamat, namuntermasuk pula yang memerintahkannya beserta orang-orang yang terlibat dalam urusan itu.
Demikianlah,pembuatan patung itu sendiri sangat diancam oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, pelakunya (termasuk pimpro –pemimpin proyek—dan anak buahnya) dengan ancaman siksa paling keras di Hari Qiyamat. Kalau patung-patung itu disembah, maka akan lebih-lebih lagi siksanya di Akherat kelak.
Patung Inul Diprotes
Terbukti, bukan hanya penguasa dan pengusaha yang suka membuat proyek pembangunan patung. Dan bukan hanya orang yang sudah mati yang dipatungkan. Tetapi orang masih hidup pun dipatungkan, dan pemesannya serta yang mau memajangnya di jalan depan rumahnya adalah dia yang masih hidup tapi minta dipatungkan itu sendiri. Itulah Inul dan patungnya.
Pada hari yang sama antara diresmikannya patung Slamet Riyadi di Solo dan patung Inul di Jakarta, seorang penjoget ngebor pamer aurat.Patung itu mau diresmikan Inul di jalan depan rumahnya, . di Pondok Indah Jakarta, 12 November 2007, tetapi diancam orang untuk dirusak massa. Maka patung yang sudah terpasang itu tinggal tembok penyangganya, dan dipasangi kertas dari sebuah Organisasi Massa yang bertulisan: “Gua bukan pahlawan, gua nggak pantes dipajang di sini, pantesnya gua dipajang di kamar mandi.”
Rupanya Inul rela mengeluarkan duit untuk membuat patung dirinya (atau dimiripkan dirinya sebagai penyanyi joget) dan untuk dipajang di depan rumahnya. Harga patung itu Rp12 juta (seharga 60-an gram emas murni), melebihi patung-patung yang sudah ada di jalan itu, yang rata-rata menurut ketua RT-nya tiap satu patung seharga Rp4 juta.
Anehnya, Inul mau mengadakan konferensi pers atas gagalnya peresmian patungnya itu. Kemudian acara itupun gagal, walau wartawan sudah berdatangan, maka Inul kirim sms (pesan singkat lewat telepon genggam) kepada wartawan: “Saya hanya bersabar, mungkin ini cobaan sebelum saya berangkat ibadah haji,” tulis Inul seraya mengaku dirinya masih berada di kawasan Kelapa Gading Jakarta Utara. (lihat Warta Kota, Selasa, 13 November 2007, halaman 1 dan 20).
Begitulah adanya. Ancaman orang yang akan merusak patung erotis dan tak pantas itu, malah dianggap oleh Inul sebagai ujian, dan dikaitkan dengan akan berangkatnya ke Tanah Suci untuk ibadah haji. Lha nanti kalau jadi syari’at baru, bahwa orang yang akan berangkat ibadah haji maka perlu memajang patung di jalan depan rumahnya, bagaimana? Sedangkan sekarang saja sudah ada adat yang entah darimana, dan sejak kapan, wallahu a’lam, setiap orang mau ibadah haji, terutama orang Betawi Jakarta, mengharuskan diri mereka mengadakan upacara Ratiban, pakai baca-bacaan, mengumpulkan orang. Bahkan ketika jama’ah haji itu masih berada di Tanah Suci Makkah ataupun Madinah, di rumah mereka pun tiap malam Jum’at diadakan Ratiban pula. Nanti ketika mereka meninggal, baik meninggalnya di Tanah Suci maupun meninggal di kampungnya atau di mana saja, maka diadakan upacara tahlilan dengan baca-bacaan dan mengumpulkan orang. Bid’ah-bid’ah itu nanti kalau ditambah dengan bid’ah yang lebih dahsyat lagi yaitu pemasangan patung, maka apa jadinya.
Di saat nanti patung-patung itu disembah orang, walau pembuat dan pemodal serta pengada proyeknya sudah di dalam kubur, namun dosanya akan tetap mengalir. Padahal itu adalah dosa kemusyrikan, yang tidak akan diampuni oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala bila pelakunya tidak bertaubat ketika masih hidup. Lha yang mewariskan patung-patung itu sudah di dalam kubur, sedang warisannya itu kemudian disembah orang, bagaimana mereka yang sudah mati itu akan bertaubat? Tinggallah dosa terbesar yang akan senantiasa mengalir. Na’udzubillahi min dzalik, kami berlindung kepada Allah dari yang demikian. Betapa berbahayanya, menabung dosa model ini. Berhati-hatilah wahai para manusia. (Lihat buku Hartono Ahmad Jaiz, Nabi-nabi palsu dan Para Penyesat Umat, Pustaka Al-Kautsar, Jakarta, 2008). [AW]