(Panjimas.com) – Aku beruntung, karena kesigapanku, tidak tertangkap pasukan Siliwangi. Aku berhasil lari bersama keluargaku. Meski telah menjadi buronan, pasukan Siliwangi tidak pernah bisa menangkapku. Aku memang telah lama dilatih oleh pimpinan PKI dalam metode lari dan bersembunyi. Untuk menangkap tikus harus mau masuk dalam gorong-gorong.
Dalam pelarian, aku kemudian bersembunyi di sebuah hutan. Setelah melihat situasi yang aman, beberapa tahun kemudian, aku kembali ke Pohrendeng. Dalam pelarianku, aku sempat menikahkan anakku dengan salah satu pejabat penerangan di Jepara.
Bertahun-tahun, aku dan keluargaku masuk hutan keluar hutan. Ketika kembali ke Pohrendeng, kami menyamar. Sudah jelas, aku dan keluargaku sudah tidak punya rumah. Aku memutuskan mengikuti Siapa saja yang mau kuikuti. Salah satunya, kami ikuti di perguruan di Jatirogo.
Aku mendengar kabar buruk tentang anak-anak buahku. Setelah dilepaskan, Sambong mengalami pengucilan dari penduduk. Akhirnya, memutuskan untuk pergi dari Pohrendeng. Tidak ada yang mengetahui kemana Sambong pergi. Sebagian meyakini, ia pergi ke Sumatera, atau ke Kalimantan.
Sekitar tahun 1975, ketika Kondisinya sudah tua, Sambong kembali ke Pohrendeng. Namun, kondisinya sudah begitu terpuruk. Ia sudah tidak mampu mendengarkan dan berbicara.
Aku sendiri terus bergentayangan sebagai tikus komunis. Cita-citaku, sebagaimana didikan Kamerad Muso, untuk menjadikan negara Indonesia sebagai negara Komunis, tak akan pernah kau padamkan. Terus ke wariskan kepada anak cucuku, sampai kapanpun.
Kalian para keturunan Masyumi dan PNI, akan tetap kami incar. Aku dan anak cucuku menunggu kalian terlena agar segera bisa kuhabisi, kucincang, lalu kumasukan ke sumur atau jamban. Bagi komunis, kalian tak lebih baik daripada isi jamban!
Sumber: Ayat-ayat yang Disembelih
Baca juga:
[PKI I: Jamban adalah Kuburan Kalian!]
[PKI II: Menculik Semua Tokoh Kunci Blora]
[PKI III: Susah Disembelih, Abu Umar Dimasukkan Langsung ke dalam Sumur]