PANJIMAS.COM – Zakat fitri adalah zakat/sedekah yang diwajibkan untuk dikeluarkan dengan selesainya puasa bulan Ramadhan. Hal ini sebagai pembersih bagi seorang shaim atas puasanya dari perbuatan sia-sia dan perkataan buruk. Di samping itu, juga sebagai bentuk belas kasih kepada orang-orang miskin agar mereka memiliki kecukupan saat hari bahagia (hari raya) sehingga tidak meminta-minta.
Dari Ibnu Abbas Radhiyallahu ‘Anhuma, ia berkata:
فَرَضَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ زَكَاةَ الْفِطْرِ طُهْرَةً لِلصَّائِمِ مِنْ اللَّغْوِ ، وَالرَّفَثِ ، وَطُعْمَةً لِلْمَسَاكِينِ ، فَمَنْ أَدَّاهَا قَبْلَ الصَّلَاةِ فَهِيَ زَكَاةٌ مَقْبُولَةٌ ، وَمَنْ أَدَّاهَا بَعْدَ الصَّلَاةِ فَهِيَ صَدَقَةٌ مِنْ الصَّدَقَاتِ
“Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam mewajibkan zakat fitri sebagai pembersih bagi orang yang berpuasa dari perbuatan sia-sia dan perkataan buruk, dan sebagai makanan untuk orang-orang miskin. Barangsiapa menunaikannya sebelum shalat ‘Ied, maka terhitung sebagai zakat yang diterima; dan barangsiapa menunaikannya sesudah shalat, maka terhitung sebagai sedekah sebagaimana sedekah lainnya.” (HR. Abu Dawud dan Ibnu Majah, dishahihkan Imam al-hakim. Namun yang lebih kuat statusnya adalah hasan)
Mengeluarkan zakat fitrah bagi setiap muslim wajib hukumnya bagi laki-laki, wanita, besar, kecil, dewasa dari umat ini berdasarkan hadits Ibnu Umar radiallahu a’nhu, ia berkata,
فَرَضَ رَسُولُ اَللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – زَكَاةَ اَلْفِطْرِ, صَاعًا مِنْ تَمْرٍ, أَوْ صَاعًا مِنْ شَعِيرٍ: عَلَى اَلْعَبْدِ وَالْحُرِّ, وَالذَّكَرِ, وَالْأُنْثَى, وَالصَّغِيرِ, وَالْكَبِيرِ, مِنَ اَلْمُسْلِمِينَ, وَأَمَرَ بِهَا أَنْ تُؤَدَّى قَبْلَ خُرُوجِ اَلنَّاسِ إِلَى اَلصَّلَاةِ
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam mewajibkan zakat fitri sebesar satu sha’ kurma atau satu sha’ gandum atas orang merdeka dan budak, laki-laki dan perempuan, besar maupun kecil dari kaum muslimin. Dan beliau memerintahkan agar dikeluarkan sebelum orang-orang keluar menunaikan shalat (‘Iedul Fitri).” (HR. Bukhari dan Muslim)
Ibnu Mundzir menukil ijma’ dari kalangan ulama’atas wajibnya zakat fithri (Al-Ijma’ : 48)
Maka zakat diwajibkan bagi orang Islam yang memiliki kelebihan makanan pokok pada malam dan hari i’ed. (Shahih Fiqh Sunnah 2/80).
Jenis Zakat Yang dikeluarkan
Jenis zakat al-fith sesuai dengan namanya yang berarti makanan, maka bentuk zakat al-fithr pada dasarnya berbentuk makanan. Kalau kita merujuk keaslian pensyariatan dari masa kenabian, kita temukan bahwa Rasulullah SAW dahulu memerintahkan kita untuk membayar zakat ini dalam bentuk tha’amطعام) ), kurma (تمر) atau gandum (شعير), zabib (زبيب), dan aqith (أقط)
Dasarnya, hadits dari Abu Sa’id Al-Khudry,
كنا نخرج زكاة الفطر صاعا من طعام، أو صاعا من شعير، أو صاعا من تمر، أو صاعا من زبيب ،أو صاعا من أقط، فلا أزال أخرجه كما كنت
“Kami mengeluarkan zakat fithr ketika dahulu Rasulullah bersama kamisebanyak satu shaa’ tha’aam (hinthah), atau satu shaa’ gandum, atau satu shaa’ kurma, atau satu shaa’kurma kering, atau satu shaa’ aqith. Dan aku terus mengeluarkan zakat fithr sedemikian itu selama hidupku” (HR. Bukhari)
Kalau kita perhatikan, ternyata makanan yang dimaksud bukan sembarang makanan, tetapi semua berupa makanan pokok, Para ulama umumnya sepakat mengatakan bahwa meski zakat itu merupakan makanan, tetapi yang diberikan bukan makanan yang sudah matang dan siap disantap. Tetapi bentuknya adalah bahan mentah yang belum dimasak.Salah satu alasannya adalah bahwa makanan yang sudah matang dan siap santap tidak bertahan lama dan tidak bisa disimpan. Setidaknya untuk ukuran teknologi di masa lalu yang belum mengenal sistem pengawetan makanan.Sedangkan bila yang diberikan berupa bahan mentah, seperti beras, gandum dan sejenisnya, maka bahan-bahan itu.bisa disimpan oleh orang yang menerima zakat untuk waktu yang lama. Karena itu kita nyaris tidak menemukan orang membayar zakat dengan nasi goreng atau pecel lele.
Ukuran Zakat Fithri.
Dalam hadits yang telah disebutkan, bahwa ukuran zakat adalah satu sha’, lalu berapa liter/ kilo jiga dihitung pada saat sekarang?
Kalau di Indonesia telah ditentukan bahwa ukurannya 2,5 kg/ 3 liter beras, namun hal itu bukan menjadi kesepakatan para ulama’, berikut perinciannya,yang disebutkan ustadz Ahmad Sarwat Lc dalam buku Seri Fikih Kehidupan Bab Zakat,
a. Ukuran Kilogram
• Pada umumnya di Indonesia, berat satu sha’ dibakukan menjadi 2,5 kg. Pembakuan 2,5 kg ini barangkali untuk mencari angka tengah-tengah antara pendapat yang menyatakan 1 sha’ adalah 2,75 kg, dengan 1 sha’ sama dengan di bawah 2,5 kg.
• Dewan Fatwa Kerajaan Saudi Arabia pernah mengeluarkan fatwa bahwa 1 shaa’ adalah 3 kg.
• Baru-baru ini MUI Jatim menghimbau masyarakat untuk menakarnya sebesar 3 kg beras. Himbauan MUI Jatim boleh merupakan jalan terbaik untuk kehati-hatian dan keluar dari perbedaan hitung. Mudah-mudahan angka 3 kg beras untuk zakat fitrah dapat mulai digunakan untuk menggantikan angka 2.5 kg.
Takaran Zakat 1 Sho’ menurut Kyai Maksum Kwaron
• Dalam bahasa melayu, sha’ sama dengan gantang. Namun ukuran gantang saat ini tinggal kenangan. Walaupun segantang kira-kira 2.8 kg, namun untuk menakar padi segantang kira-kira 5 1/3 lb atau 2.42 kg. Barangkali inilah yang menjadikan ukuran 2.5 kg sebagai kadar zakat fitrah di Indonesia.
b. Ukuran Liter
• Ulama Indonesia juga banyak berbeda pendapat tentang satu sha’. Sebut misalnya Kyai Maksum-Kwaron Jombang, beliau menyatakan bahwa satu sha’ sama dengan 3,145 liter, atau 14,65 cm2 atau sekitar 2.751 gram.
• Dengan menggunakan kaleng literan Betawi (0.8 kg) diperoleh angka 3,5 liter beras. Tetapi dengan menggunakan takaran liter air, didapatkan bahwa 1 liter setara dengan 1 kg. Sedangkan menurut kamus bahasa Indonesia 1 gantang sama dengan 3.125 kg.
Waktu Mengeluarkan.
Diriwayatkan dari Ibnu Umar radliyallah ‘anhuma dia berkata, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam memerintahkan agar (zakat fitrah) dikeluarkan sebelum orang-orang keluar menunaikan shalat (‘Iedul Fitri).” (Muttafaq ‘Alaih).
Boleh juga menyerahkannya kepada amil zakat lebih cepat sehari atau dua hari dari hari ‘Iedul Fitri. Diriwayatkan dari Nafi’, ia berkata, “Ibnu Umar radliyallah ‘anhuma menyerahkan zakat fitrah kepada panitia zakat, kemudian mereka membagikannya sehari atau dua hari sebelum hari ‘Iedul Fitri.” (HR. Bukhari).
Dan diharamkan menunda-nundanya hingga setelah shalat tanpa alasan yang jelas. Diriwayatkan dari Ibnu ‘Abbas radliyallah ‘anhuma, ia berkata, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam mewajibkan zakat fitrah sebagai pembersih bagi orang yang berpuasa dari perkataan yang tak berguna dan kotor, dan sebagai makanan bagi orang-orang miskin. Maka barangsiapa yang mengeluarkannya sebelum shalat ‘Ied, maka ia zakat yang diterima. Dan barangsiapa yang mengeluarkannya sesudah shalat, maka ia menjadi sedekah biasa.” (HR. Ibnu Majah dan Abu Dawud)
Mengeluarkan Zakat dengan Uang.
a. Jumhur Ulama berpendapat mengeluarkan zakat diganti dengan uang tidak boleh, Alasannya, syariat telah menyebutkan apa yang mesti dikeluarkan, sehinga tak boleh menyelisihinya. Zakat juga tidak lepas dari bagian ibadah, maka yang seperti ini bentuknya harus mengikuti perintah Allah subhanahu wata’ala. Selain itu, jika dengan uang maka akan membuka peluang untuk menentukan sendiri harganya. Sehingga menjadi lebih selamat jika menyelaraskan dengan apa yang disebutkan dalam hadits.
b. Abu Hanifah boleh mengeluarkannya dalam bentuk uang yang senilai dengan apa yang wajib ia keluarkan dari zakatnya, dan tidak ada beda antara keduanya.
Abu Malik mengungkapkan, “Pada dasarnya mengeluarkan zakat fitrah harus berdasarkan nash yang ada. Tidak boleh diganti dengan harganya kecuali karena darurat, kebutuhan, atau mashlahat yang dominan. Apabila demikian maka boleh mengeluarkan dengan harganya.” (Shahih Fiqh Sunnah 2/84)
Orang yang Berhak Menerima.
Dalam hal ini terdapat dua pendapat,
Pendapat pertama, penerimanya delapan golongan yang disebutkan dalam At-Taubah : 60, ini merupakan madzhab Mayoritas ulama’ kecuali Malikiyah.
Pendapat kedua, khusus dibrikan kepada fakir dan miskin, ini pendapat Malikiyah dan dipilih oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah.
Pendapat yang lebih rajih (kuat) adalah pendapat pertama, karena selaras dengan disyariatkannya zakat fitrah, yaitu sebagai “makanan bagi orang-orang miskin.” karena zakat fitrah serupa dengan kafarah. Yakni sebagai penebus atas kekurangan dan aib dalam pelaksanaan ibadah shiyam. Karenanya, tidak sah kecuali diberikan kepada orang yang berhak menerimanya. (Shahih Fiqh Sunnah 2/85). Wallahu Ta’ala A’lam. [AH]