(Panjimas.com) – Manusia dicipta dan ditempatkan di bumi untuk tidak hidup sendiri. Tanpa orang lain dan makhluk lain, individu manusia tidak mampu bertahan hidup dan berkembang. Sangatlah bisa diterima nalar bila Islam mewajibkan umatnya berjama’ah. Berjama’ah, menurut logika material maupun spiritual merupakan keniscayaan dalam kehidupan.
“Dan berpegang teguhlah kamu semuanya pada tali (agama) Allah dan janganlah kamu bercerai-berai ….” (Ali Imran: 103).
Di dalam jama’ah, tidak mungkin tidak, pasti terjadi interaksi. Dalam interaksi tersebut muncul aksi dan reaksi yang secara alami menumbuhkan rasa. Rasa dapat dibedakan secara global menjadi dua: rasa baik dan rasa buruk. Dalam menjalin interaksi dengan sesama, kaum Muslim diminta mengupayakan agar yang akan muncul adalah rasa baik, bukan sebaliknya.
“Tidak akan masuk surga orang yang tetangganya tidak merasa aman dari gangguannya.” (Hr. Bukhari dan Muslim).
Salah satu wujud upaya menumbuhkan rasa baik yang diajarkan Rasulullah shalallahu ‘alaihi wassalam adalah menggunakan wewangian. Dan salah satu agenda yang ditekankan untuk menggunakannya adalah saat shalat berjama’ah di masjid.
“Diberi kecintaan kepadaku dari dunia ialah wanita dan wewangian, dan dijadikan kesejukan di mataku di dalam shalat.” (Hr. Ahmad, Nasa’i, Hakim, dan Baihaqi).
Aroma sedap akan menumbuhkan rasa baik dalam interaksi antar sesama. Interaksi tak sesalu dimaknai sebagai komunikasi aktif, tetapi dimaksudkan di sini termasuk berada berdekatan tanpa konumikasi lisan. Saat shalat berjama’ah, bentuk interaksi kita dengan sesama adalah sikap saling menjaga kekhusyukan, tidak saling mengganggu. Interaksi dengan imam berupa memerhatikan bacaan. Berada berdekat-dekatan dengan sesama jama’ah yang masing-masingnya beraroma harum akan menumbuhkan rasa baik: nyaman dan betah, sehingga merekatkan ukhuwah.
Setelah diteliti mendalam, wewangian yang berasal dari bahan alam seperti yang digunakan Rasulullah shalallahu ‘alaihi wassalam, mengandung faedah lebih dari sekadar mencipta kenyamanan. Ia pun ternyata memberi pengaruh positif yang lebih besar terhadap kesehatan.
Dalam tradisi Mesir Kuno, minyak tumbuhan yang beraroma wangi digunakan sebagai pelembut kulit. Di Yunani Kuno, ia digunakan sebagai obat diare dan pembangkit gairah seksual (aprodisiak). Di Eropa pada zaman pertengahan, semak rosemari dibakar di jalanan –menimbulkan asap wangi– guna mencegah penularan wabah pes (black death). Di abad ke-17, minyak atsiri yang terkandung di dalam aneka macam tanaman banyak dijadikan salah satu komposisi ramuan obat. Misalnya minyak lavender untuk obat kejang dan pingsan, dan minyak rosemari untuk obat sakit kepala.
Di zaman modern kini, peran minyak atsiri yang wangi itu banyak diandalkan untuk membantu proses penyembuhan, juga meredakan stress dan rasa sakit. Di perkantoran, ia dimanfaatkan untuk menjaga konsentrasi dan meningkatkan semangat kerja, selain menciptakan suasana nyaman.
Namun di sisi lain, di zaman modern ini beredar luas pewangi yang bukan berasal dari bahan alam. Berupa pengharum ruangan, pelembut pakaian, juga parfum badan dan pakaian. Bahan-bahan ini sama-sama menghasilkan aroma wangi. Namun, bila kita cermati, karakter harumnya jelas sangat berbeda sekali dengan wewangian yang berasal dari tumbuh-tumbuhan. Dalam kondisi dan waktu sertentu, pewangi sintetis bisa membuat pusing dan mual. Bahkan bila diperiksa secara medis, bila berlebihan dapat berakibat buruk bagi kesehatan. Antara lain bisa menimbulkan ganguan saraf dan kemampuan seksual. Tentu hal ini perlu kita fahami dan waspadai. Jangan sampai niat kita melaksanakan sunah Nabi, tapi ternyata keliru dalam memilih. Wewangian yang beliau sunahkan adalah yang alami, bukan yang berasal dari bahan sintetis yang bersifat destruktif (merusak).
Indonesia sebenarnya kaya akan tanaman sumber wewangian alami. Ada nilam, kayu putih, cendana, dan masih banyak lagi. Dahulu ketika orang Eropa menjajah tanah air kita, mereka membawa hasil alam itu ke negerinya untuk dipakai rakyatnya. Tapi kini setelah merdeka, rupanya kita belum maksimal mendayagunakan potensi besar ini. Padahal itu penting adanya guna mengamalkan sunah Nabi Muhammad shalallahu ‘alaihi wassalam. Kaum Muslim seyogianya segera sadar bahwa kekayaan hayati tersebut merupakan karunia besar dari Allah ta’ala yang harus kita syukuri dengan cara memanfaatkannya dengan sebaik-baiknya.
“Dan Dia menundukkan apa yang ada di langit dan di bumi untukmu semua (sebagai rahmat) dariNya. Sungguh, dalam hal yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda (kebesaran Allah) bagi orang yang berpikir.” (al-Jaatsiyah: 13).
Wallahu a’lam. [iB]