(Panjimas.com) – Seorang pencipta lagu menyusun lirik yang mengingatkan kita agar memupuk syukur kepada Allah subhanahu wa ta’ala. Yang menyadarkan kita bahwa bangsa Indonesia adalah manusia yang dihujani kenikmatan sangat besar olehNya. Pencipta lagu menulis, “Tongkat kayu dan batu jadi tanaman.” Sungguh suatu penggambaran hiperbolis yang sangat dalam. Bahwa kita ditaqdirkan lahir dan tumbuh di bagian kerak bumi yang sangat subur sekali. Jadi, seharusnya, segenap penduduk negeri ini hidup makmur tak kekurangan suatu apa. Aneh jika sampai ada segelintir saja rakyat jelata yang mengalami kelaparan, gizi buruk, dan sakit-sakitan. Bila itu terjadi –dan fakta menunjukkan bahwa itu benar terjadi, bisa dipastikan ada persoalan mendasar dalam menejemen pangan uang perlu dibenahi.
Sebagai insan beriman, sudah selazimnya kita menyadari bahwa apa pun saja yang membuat manusia rugi, celaka, menderita; dapat dipastikan sebab musababnya adalah keingkaran kepada Allah subhanahu wa ta’ala. Disebabkan oleh karena si hamba tidak mengindahkan petunjuk dan norma yang dibawa oleh RasulNya.
Ada satu hadita Nabi Muhammad shalallahu ‘alaihi wassalam yang perlu kita cermati guna mengurai persoalan pangan di negeri ini. Persoalan pangan yang tentu saja berkelit berkelindan dengan masalah kesehatan.
Diriwayatkan dari Umar bin Abi Salamah radhiyallahu ‘anhu, ia bercerita,
“Ketika aku masih kecil dalam didikan Rasulullah shalallahu ‘alaihi wassalam dan tanganku mengambil makanan dari segala sisi piring, beliau bersabda padaku, ‘Nak, bacalah basmallah dan makanlah dengan tangan kananmu, dan makanlah apa yang dekat darimu.'” (Hr. Bukhari, Muslim, Ahmad, Abu Dawud, dan Ibnu Majah).
Hadits ini membicarakan makanan yang tersaji di piring atau wadahnya. Pada zaman itu, kaum Muslim punya tradisi makan berjama’ah: beberapa orang makan bersama dalam satu wadah. Islam, sebagai Din yang tak meluputkan secuil pun aspek kehidupan, mengajarkan sopan santun di dalamnya, yakni –di antaranya– mengambil makanan dari yang letaknya terdekat dengan masing-masing si bersangkutan. Sopan santun ini tentu saja mengandung manfaat bersama, yakni mencipta kenyamanan, dan kebersihan pun lebih terjaga.
Hadits ini, bila dicermati, di dalamnya terkandung pesan moral-spiritual yang agung yang sangat bagus bila diterapkan dalam menejemen pangan dan pembentukan budaya pangan yang baik dan beradab, yang bermaslahat bagi umat.
Mari kita ambil kata kunci: “makan yang dekat”! Sekali lagi, kita bangsa Indonesia ditaqdirkan oleh Allah ta’ala lahir dan tumbuh di bagian kerak bumi yang sangat subur sekali, yang dilalui garis khatulistiwa. Dua per tiga wilayah kita adalah laut dan sepertiganya daratan. Di kedua jenis bentang alam itu tersedia bahan pangan yang melimpah ruah. Laut kita kaya aneka macam rumput laut dan ikan, tanah kita kaya aneka macam buah, daun, bunga, biji, dan umbi. Sebagian sudah “tersaji” dan sebagian lagi masih berupa potensi (tanah subur untuk ditanami). Tapi… apa yang terjadi saat ini?
Kenyataan tak bisa berdusta, ia selalu berkata sejujurnya. Apa yang dikatakannya? Pertama, bangsa Indonesia yang mayoritas Muslim ini, kini jauh lebih akrab dengan gandum daripada ubi dan singkong (apalagi suweg, ganyong, uwi, dan gembili). Padahal dari segi kandungan, umbi-umbian andalan nenek moyang kita itu lebih baik bagi kesehatan. Gandum yang kita impor setiap hari mengandung protein sulit dicerna yang bernama gluten. Kedua, kita punya lauk sehat bernama tempe dan tahu (alhamdulillah). Tapi tahukah Antum kalau kedelai yang menjadi bahan bakunya diimpor dari Amerika? Di pasar modern maupun tradisional, kita sulit menemukan kedelai hasil panen petani desa dalam negeri. Padahal, kedelai impor dari negeri penjajah itu terkenal tinggi cemaran pestisida, serta sudah melalui rekayasa genetik yang istilah sainsnya “transgenik” atau “GMO (Genetically Modified Organisms)”. Bahan pangan seperti itu membawa dampak buruk bagi kesehatan dan lingkungan hidup di masa depan.
Belum lagi, pangan impor juga menyebabkan pencemaran udara dan sampah yang lebih besar daripada pangan lokal, karena jarak pendistribusiannya lebih panjang. Pencemaran udara, darat, maupun air; baik yang berupa gas, padat, maupun cair; sudah kita maklumi bersama menyumbang pengaruh buruk yang signifikan bagi kesehatan. Gandum dan kedelai hanyalah segelintir contoh saja. Bila diurai lebih luas dan dalam, persoalan pangan terkait lokal dan impor saja sudah membutuhkan ribuan halaman.
Filosofi jauh-dekatnya pangan tidak saja menyoal jarak tempat bahan pangan tersebut berasal. Islam selalu menyentuh kedalaman: mental, budaya, yang ujung-unjungnya adalah aqidah. Insya Allah kita akan mengupas tinjauan tersebut pada edisi mendatang.
Memang, ilmu Allah subhanahu wa ta’ala sangatlah luas dan dalam. Air sepenuh samudera tak cukup bila dijadikan tinta untuk menuliskannya, walau ditabah lagi sebanyak itu juga. Tak sedikit pesan moral-spiritual yang ternyata masih terluput dari perhatian, padahal sangat diperlukan sebagai landasan filosofis pembangunan peradaban. Maka itu, kita kaum Muslim harus terus dan terus belajar, mengais ilmu dan menggali kedalamannya. Sebagai Muslim Indonesia, mari kita malangkah terdepan membangun menejemen dan budaya pangan yang sehat, yang berdasarkan firman Allah subhanahu wa ta’ala dan sunnah RasulNya!
Wallahu a’lam. [IB]