(Panjimas.com) – Kesehatan adalah salah satu nikmat terbesar dalam kehidupan setelah iman. Namun pada kenyataan, banyak manusia beriman kurang perhatian, kurang menghargai nilai kesehatan. Saat badan sehat, gaya hidup diumbar sesuka syahwat. Semua kelezatan dicecap. Akibatnya, di kemudian hari muncul berbagai keluhan di badan, sakit ringan hingga mematikan.
Ada sebuah renungan kebun binatang yang melukiskan ironi kehidupan tentang kesehatan. Ceritanya, pengelola sebuah kebun binatang di suatu kota menjual tiket 50 ribu rupiah untuk satu orang. Selama sebulan, nyaris tak ada pengunjung datang. Si pengelola heran. Terbersitlah gagasan untuk menurunkan harga. Dipatoklah harga separoh dari semula, 25 ribu rupiah per orang. Ia berharap dengan begitu kebun binatangnya akan memeroleh jumlah pengunjung yang lumayan.
Tapi apa yang terjadi? Sungguh jauh panggang di atas api. Pengunjung tetap sepi, tak ada peningkatan sama sekali. Pengelola kebun binatang ini pusing. Biaya perawatan tinggi namun tak punya pemasukan yang berarti. Dalam keadaan genting, ia tak berpikir lagi tentang keuntungan bisnis, yang penting koleksi binatangnya bisa makan dan tidak mati. Ia membanting harga, sepuluh ribu rupiah saja.
Tapi ternyata, sudah sepekan harga itu ditawarkan, tetap saja jumlah pengunjungnya sama. Tak lebih 20 orang. Ia makin pusing. Akhirnya, ia menggratiskan kebun binatangnya. Pintu dibuka lebar, pos loket dirubuhkan. Di hari pertama, pengunjung memadati kebun binatang. Penuh sesak, berjejal-jejal tak keruan. Si Pengelola geram. Ia menutup dan mengunci semua pintu gerbang, lalu dibukanya semua pintu kandang.
Hanya ada satu pintu kecil untuk keluar. Di sana ia memasang papan besar bertulis: “Keluar Rp 500.000,00 per Orang”. Ya, untuk keluar dari area kebun binatang, satu orang harus membayar 500 ribu rupiah! Dan apa yang terjadi? Semua orang merogoh dompet untuk membayarnya. Mereka berebutan.
Begitulah fenomena sikap mental banyak orang tentang kesehatan. Saat sehat, mereka enggan membayar sedikit saja demi terpeliharanya kesehatan. Padahal pembayaran itu hanya berupa gaya hidup sehat: mengonsumsi pangan sehat, olahraga, tidak merokok, dan sebagainya. Namun, kebanyakan mereka enggan melakukan. Tapi, saat sakit sudah diderita, berapa pun rumah sakit mematok harga, mereka akan membayarnya. Mereka akan berusaha sekuat tenaga untuk bisa mendapatkan cukup uang guna membayarnya.
Inilah ironi kehidupan yang nyata terjadi di masyarakat kita. Dan juga inilah bukti nyata bahwa kesehatan adalah nikmat Allah subhanahu wa ta’ala yang sangat tinggi nilainya.
“Dua nikmat yang sering tidak diperhatikan oleh kebanyakan manusia adalah kesehatan dan waktu luang.” (Hr. Bukhari).
Mari mengajak diri dan keluarga menghargai nikmat sehat demi terciptanya masyarakat Muslim yang kuat!
Wallahu a’lam. [IB]