(Panjimas.com) – Kehalalan pangan kini sedang mendapat perhatian besar Muslim Indonesia. Para pengusaha pangan di negeri mayoritas Muslim ini, apa pun agama mereka, merespon kesadaran spiritual target pasarnya dengan berlekas-lekas mencari sertifikat halal MUI. Produk-produk pangan yang dikeluarkan industri-industri besar hampir semua telah mencantumkan label halal MUI di kemasannya. Bila tidak, risikonya akan sangat besar: produk mereka tak akan laku di pasaran. Inilah potret semangat berpangan halal di Indonesia yang sedang menggelora.
Tapi, gelora semangat itu rupanya belum disandingi semangat mengindahkan prinsip spiritual pangan yang satunya: tayib. Tayib (Arab: thayyib) adalah prinsip dasar Islam mengenai pangan di samping halal.
“Wahai manusia, makanlah dari (makanan) yang halal dan tayib yang terdapat di bumi, dan janganlah kalian mengikuti langkah-langkah setan. Sungguh, setan itu musuh yang nyata bagimu.” (al-Baqarah: 168).
Menyaksikan kenyataan demikian, penulis ingin mengajak pembaca memahami bersama makna tayib beserta pesan hangatnya di era modern saat ini.
Term “thayyib” dalam al-Qur’an ada yang berakna sifat pangan dan ada yang bicara konteks lain. Term “thayyib” yang bermakna sifat pangan terdapat di empat tempat: al-Baqarah: 168, al-Maidah: 88, al-Anfal: 69, dan an-Nahl: 114. Imam Raghib al-Isfahani rahimahullah berpendapat, kata “thayyib” menunjuk pada sesuatu yang benar-benar baik. Bentuk jamak dari thayyib adalah thayyibaat, yang diambil dari derivasi thaba-yathibu-thayyib-thayyibah. Ia memiliki sejumlah makna: zaka wa thahara (suci dan bersih), jada wa hasuna (baik dan elok), ladzdza (enak), dan halal (halal). Kesimpulan beliau, “thayyib” bermakna sesuatu yang dirasakan enak oleh indera dan jiwa; segala sesuatu selain yang menyakitkan (membuat rusak) dan menjijikkan (membuat tidak nyaman).
Senada dengan Imam Raghib, imam Ibnu Taimiyah rahimahullah mencatat dalam Majmu’ Fatawa bahwa “thayyib” adalah sesuatu yang berpengaruh baik bagi raga, jiwa, akal, dan akhlaq. Lawan kata thayyib adalah khabits (jamak: khabaits), yakni sesuatu yang menjijikkan dan dapat merusak raga, jiwa, akal ,dan akhlaq.
Berdasar penjelasan kedua imam di atas, dapat kita pahami bahwa pangan yang tayib adalah yang (1) tidak menjijikkan dan (2) tidak merusak raga, jiwa, akal, dan akhlak. Mengacu ke sini, kita dapat mengidentifikasi pangan yang tersedia di pasaran, apakah ia tayib atau tidak. Walau identifikasi ini tidak bisa menghasilkan klasifikasi hitam-putih sebagaimana halal-haram, tapi tetap akan berguna dalam menentukan pilihan.
Zaman dahulu, kala masyarakat masih mentradisikan gaya hidup lekat dengan alam, persoalan ketayiban pangan bukanlah masalah pelik. Pangan yang tersedia di sekitar masih bersifat alami. Pertanian dan peternakannya masih berjalan secara alami, tanpa melibatkan bahan-bahan sintetis. Demikian juga proses pengolahannya yang masih menggunakan bumbu-bumbu dan peralatan alami. Tapi kini, di era modern ini, tradisi itu hampir musnah. Mencari pangan alami tak seringan pemain sepak bola berlari. Persediaannya sangat terbatas dan harganya hanya pantas untuk kalangan menengah ke atas.
Dalam situasi seperti itu, seyogianya kajian tentang ketayiban pangan diberi ruang yang lapang dan terdepan. Apalagi, fakta telah berkata bahwa pangan yang tidak tayib sudah jelas-jelas melemahkan kesehatan raga dan jiwa kaum Muslim di era ini. Dan lemahnya Muslim indonesia adalah kabar gembira para pemuja dunia. Mereka akan bertambah optimis dalam menyongsong cita-cita menguasai Indonesia.
Sudah saatnya Muslim Indonesia sadar akan arti penting ketayiban pangan dan melakukan hijrah pangan. Salah satu langkah yang bisa diambil adalah memerkenalkan produk pangan sehat kepada umat dan mengusahakan agar semua lapisan masyarakat mampu mendapatkan dan mengonsumsinya.
Wallahu a’lam. [IB]