(Panjimas.com) – Bercerita Salamah bin al-Aqwa radhiyallahu ‘anhu, “Saat kami berjalan kaki, bertemulah dengan seorang lelaki Anshar yang tak pernah kalah dalam lomba jalan kaki. Ia menantang, ‘Adakah orang yang dapat menandingiku jalan kaki ke Madinah? Adakah yang mau berlomba?’ Lalu kujawab, ‘Apakah engkau sudah menghargai orang yang mulia dan tak takut dengan orang yang tinggi derajadnya?’ Ia menjawab, ‘Tidak, kecuali yang menantangku adalah Rasulullah.’ Aku bicara, ‘Wahai Rasulullah, demi bapakku, engkau, dan ibuku, izinkan aku melawan lelaki itu!’ Beliau menjawab, ‘Terserah kamu.’ Lalu aku berlomba dan menang.” (Hr. Ahmad dan Muslim).
Salah satu gaya hidup sehat adalah budaya jalan kaki. Salah satu cara menjaga kesehatan adalah berolahraga. Jalan kaki adalah olahraga paling sederhana yang bisa dilakukan siapa saja, kecuali orang yang cacat fisik tertentu atau menderita gangguan kesehatan tertentu, atau mengalami cedera tertentu; yang mengenai atau memengaruhi syaraf atau organ jalan.
Hadits di atas menyuguhkan informasi bermuatan pesan kesehatan. Adalah bahwa kaum Muslim di masa Rasulullah shalallahu ‘alaihi wassalam memiliki budaya olahraga dan budaya jalan kaki.
Ada berbagai jenis olahraga yang mereka kenal kala itu. Jalan kaki, lari, memanah, menunggang kuda, gulat, renang, juga sepak bola. Konon para shahabat menggunakan buah semangka untuk bermain sepak bola.
Jalan kaki, waktu itu juga menjadi salah satu cara yang lazim digunakan untuk menempuh perjalanan. Tak hanya saat menempuh jarak dekat, para shahabat juga melakukannya saat berhijrah dari Makkah ke Yatsrib.
Ditinjau dari segi kesehatan, ritme gerak tangan dan kaki saat berjalan memberi dampak baik bagi kesehatan. Melatih persendian, juga melatih kerja jantung dan organ pernafasan. Secara psikologis, jalan kaki juga menghadirkan nuansa kelegaan. Lelah iya, tapi bila dinikmati, akan dapat meluruhkan beban pikiran.
Penulis membuktikannya sendiri. Kadang kala sengaja menyisihkan waktu untuk berjalan kaki. Menggerakkan anggota badan sembari merenungi sebuah persoalan, atau menghayati apa-apa yang dilihat di sepanjang jalan. Kerap kali inspirasi hidup datang saat melakukan aktivitas ini. Jalan kaki juga dapat menambah pengalaman geografis. Ia dapat menunjukkan “tempat-tempat baru” di sepanjang jalur yang biasanya kita lewati dengan kendaraan bermotor. Tempat-tempat yang tak pernah kita kenali saat berkendara, akan kita dapati saat berjalan kaki. Gerak lambat membuat mata tak hanya melihat, tapi mampu menatap.
Namun apa yang terjadi saat ini? Jalan kaki sudah menjadi fenomena langka di negeri kita. Trotoar beralih fungsi jadi tempat berdiri warung-warung tenda. Wajar, karena bangsa kita kini lebih akrab dengan aktivitas jajan ketimbang jalan. Kini aneka bentuk makanan dijajakan di mana-mana, tapi para penyantapnya merasa diri tak kuat berjalan kaki lama-lama.
Bila menengok ke belakang, kakek-nenek kita dulu, berjalan kaki 20 km sambil memikul atau menggendong beban adalah hal biasa. Meski makanan mereka hanya bonggol batang pisang dan minumnya cuma air kendi, tapi mampu menempuh jarak sejauh itu. Ironis memang. Tapi ini kenyataan.
Kini, pemandangan indah orang-orang berlalu lalang mengayun langkah sudah nyaris punah. Ke masjid sejarak 100 m saja anak-anak muda kita naik sepeda motor. Naifnya, sepeda motor itu produk perusahaan negara lain yang penduduknya masih menjaga tradisi jalan kaki. Mereka bisa mencipta kendaraan dan memeroleh kemakmuran tapi tak mau dimanjakan teknologi. Tapi bangsa kita yang baru bisa membeli produk mereka secara kredit ini malah merasa bangga bila bisa bermanja diri dengannya.
Pergeseran budaya tengah terjadi. Meski kaum Muslim di negeri ini banyak yang mengklaim diri sebagai penganut Sunah Nabi, tapi rupanya pada kenyataannya jauh sekali. Dan naifnya lagi, pergeseran budaya seperti ini jarang diangkat dalam ceramah para da’i. Maklum, demam takjub teknologi sudah menjangkiti kalangan satu ini. Banyak da’i yang rupanya tak mengerti bahwa fasilitas modern yang kini menyelimuti masarakat kita memang sengaja dihadirkan oleh kaum Kapitalis guna merapuhkan kesehatan jiwa dan raga bangsa Muslim ini. Bila sudah rapuh, bila sudah sakit jiwa dan raganya, kekayaan alam negeri ini akan bisa mereka jarah dengan begitu mudah, sementara pemiliknya hanya bisa marah-marah saling melempar vonis salah. Astaghfirullahal ‘adziim.
Sudahlah, mari kita perbaiki kesehatan jiwa dan raga umat Islam Indonesia dengan menghidupkan kembali budaya jalan kaki! Wallahu a’lam. [IB]