(Panjimas.com) – Pakaian bersih menampakkan keindahan. Enak dipandang, juga enak dirasakan. Pakaian bersih membuat nyaman pengenanya dan orang di dekatnya. Kebersihan pakaian adalah kebutuhan kita semua.
Menyadari kebersihan pakaian adalah kebutuhan, kalangan pebisnis tak mau melewatkannya sebagai peluang. Sekarang, berbagai merek produk pembersih pakaian dan “bumbu-bumbunya” beredar luas di pasaran. Mereka giat berkompetisi menguasai pasar. Iklan-iklan dibuat secerdik mungkin agar mampu menghipnosis jutaan orang.
Benar. Banyak orang terhipnosis iklan produk pembersih pakaian dan “bumbu-bumbunya” sampai tanpa sadar telah salah memosisikan. Apa yang mulanya dianggap tak perlu dan memang tak perlu, menjadi perlu bahkan seperti diwajibkan. Orang tua kita dulu hanya mengenal deterjen pencuci pakaian. Waktu itu dengan satu macam produk saja sudah cukup. Jangankan petani dan kuli bangunan, orang-orang kantoran saja sudah merasa cukup mengenakan pakaian yang dicuci dengan deterjen tanpa “bumbu-bumbu” lainnya. Tapi kini, setelah iklan seperti guru yang mendikte muridnya dari pagi hingga malam, deterjen saja tidaklah cukup. Harus ada pewangi, pelembut, dan entah apa lagi.
Sebenarnya nenek kita sudah punya tradisi memakai pewangi. Mereka memerolehnya tanpa membeli. Menanam sendiri di halaman rumah dan memetik daunnya jelang mencuci. Daun nilam namanya.
Kebersihan pakaian adalah kebutuhan. Tapi gaya hidup modern yang dipropagandakan oleh iklan telah menanamkan mindset bahwa membersihkan pakaian harus mengorbankan lingkungan. Lingkungan rusak akibat proses produksi massal produk pembersih pakaian dan “bumbu-bumbunya”, rusak akibat limbah rumah tangga yang timbul karenanya. Sampah kemasan produk-produk itu dan residunya telah mengganggu kesehatan tanah dan air.
Kesehatan tanah dan air berbanding lurus dengan kesehatan manusia. Manusia tak bisa hidup tanpa tanah dan air, tapi keduanya telah dirusak oleh si manusia sendiri demi pakaian bersih dan wangi. Lucu sekali. Gaya hidup modern seperti panggung parodi.
Lucunya lagi, masyarakat Muslim di era modern menganggap itu hal biasa yang tidak mengandung dosa. Padahal bukankah kita telah berulang kali membaca firman Allah ta’ala bahwa Dia tak pernah melewatkan hal sekecil apa pun juga?
“Maka barangsiapa mengerjakan kebaikan seberat zarrah, niscaya dia akan melihat (balasan)nya. Dan barangsiapa mengerjakan kejahatan seberat zarrah, niscaya dia akan melihat (balasan)nya. (az-Zalzalah: 7-8),
“…. Allah Mahateliti terhadap apa yang kamu kerjakan.” (at-Taubah: 16),
“…. Sesungguhnya Allah Mahahalus Mahateliti.” (Luqman: 16).
Memindah tempakan sesuatu dari yang sejatinya tidak perlu menjadi perlu, tidak penting menjadi penting; yang dengan itu ada sesuatu yang seharusnya dijaga malah dikorbankan, adalah tindakan melampaui batas yang dibenciNya.
Pakaian yang bersih dan wangi itu penting, tapi menjaga lingkungan tetap lestari lebih penting. Maka itu, kaum Muslim harus terus berupaya mencari terobosan bagaimana agar pakaian bisa bersih-wangi, tapi alam tetap lestari.
Sebagai langkah sederhana, kiranya penggunaan nilam sebagai pewangi alami perlu dicoba kembali. Penanaman nilam di pekarangan perlu diagendakan. Karena pakaian bersih-wangi tak harus “memakan korban”. Wallahu a’lam. [IB]