(Panjimas.com) – Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) pada 1974 mendefinisikan sehat sebagai keadaan sempurna dari fisik, mental, dan sosial; tak hanya bebas dari penyakit atau kelemahan. Sedangkan Majelis Ulama Indonesia (MUI) dalam Munas Ulama tahun 1983 mendefinisikan sehat sebagai ketahanan jasmani, ruhani, dan sosial, yang merupakan nikmat Allah subhanahu wa ta’ala yang wajib disyukuri dengan cara mengindahkan tata aturanNya, yang di dalamnya juga terdapat ajaran memelihara serta meningkatkan kesehatan itu sendiri.
Secara faktual, banyak manusia kurang memerhatikan kesehatan. Terlebih di zaman modern seperti sekarang. Masyarakat modern hidup dalam selimut perangkat teknologi yang berefek buruk bagi kesehatan bila tak bijaksana dalam menggunakan. Pola hidup yang diterapkan pun sering kali kontra kesehatan. Mulai pola pikir, pola aktivitas, sampai pola makan.
Sementara itu, Islam merupakan agama yang menganganggap kesehatan sebagai karunia yang sangat berharga. Rasullullah shalallahu ‘alaihi wassalam sebagai penyampai risalah Allah ta’ala, mengingatkan umatnya agar tak mengesampingkan pemeliharaannya.
“Dua nikmat yang sering tidak diperhatikan oleh kebanyakan manusia adalah kesehatan dan waktu luang.” (Hr. Bukhari).
Masyarakat Muslim memiliki kosakata khas tentang kesehatan: sehat wal afiat. Dua kata ini dirangkai menjadi satu paket sebagai pengingat sekaligus penegas bahwa orang yang beriman kepada Allah dan RasulNya tak boleh mendikotomikan antara materi dan imateri, yang bersifat profan dan yang transendental. Dalam kamus Bahasa Arab, sehat diartikan sebagai keadaan baik bagi segenap anggota badan. Sedangkan afiat diartikan sebagai perlindungan Allah subhanahu wa ta’ala untuk hambaNya dari segala macam bencana dan tipudaya.
Yang perlu kita garisbawahi adalah “perlindungan Allah ta’ala”. Siapa yang berhak mendapatkannya? PerlindunganNya hanya diperuntukkan bagi hamba yang menapaki jalanNya.
“Allah pelindung orang yang beriman ….” (al-Baqarah: 257).
Jadi, dengan bahasa lain, afiat dapat dimaknai sebagai berfungsinya tubuh manusia sesuai dengan tujuan penciptaannya. Allah ta’ala mencipta manusia untuk beribadah kepadaNya, yang mana ibadah itu adalah untuk kebaikan diri si manusia, bukan untukNya, karena Dia tak butuh apa pun dari makhlukNya.
“Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan agar mereka beribadah kepadaKu. Aku tidak menghendaki rezeki sedikit pun dari mereka, dan Aku tak menghendaki agar mereka memberi makan kepadaKu. Sungguh Allah, Dia-lah pemberi rezeki yang memiliki kekuatan lagi sangat kokoh.” (az-Zaariyaat: 56-58).
Maka itu, kaum Muslim di era modern saat ini hendaknya kembali ingat dan saling mengingatkan bahwa kesehatan yang Allah ta’ala anugerahkan hendaknya dijaga dan didayagunakan untuk beribadah kepadaNya. Beribadah dalam makna luas, yakni mengisi hidup dengan aktivitas hati, lisan, dan semua organ badan; untuk beramal kebajikan, beramar ma’ruf nahi munkar, demi menggapai pahala dan ridhaNya. Dan di antara wujud amar ma’ruf adalah mengajak masyarakat memerbaiki pola hidupnya agar kesehatan umat tetap terjaga. Nahi munkarnya adalah menolak masuknya sisi negatif modernisasi yang digelontorkan para pengusungnya secara masif ke tengah kehidupan kaum Muslim. Itulah amal kebajikan yang merupakan ekspresi syukur sejati atas kesehatan. Wallahu a’lam. [IB]