(Panjimas.com) – Beberapa tahun lalu penulis berkunjung ke rumah seorang nenek yang berprofesi sebagai perajin kain perca (kain potongan kecil-kecil sisa konveksi). Produknya bermacam-macam; ada keset, bantal, dompet, tas, tatakan piring, dll.
Nenek ini berkarya dengan sebuah mesin jahit tua di rumahnya yang sangat sederhana di tepi gang sangat sempit belakang sebuah bank. Di sana ia tinggal berdua dengan suaminya.
Ramah orangnya. Murah senyum dan tampak sangat ceria. Dengan suara renyah berenergi, Si Nenek menjawab pertanyaan-pertanyaan penulis, menjelaskan perihal usaha kerajinannya. Ia memang nenek-nenek, tapi satu hal yang tak penulis kira adalah umurnya. Ia tampak 10 tahun lebih muda dari sebenarnya, 72 tahun! Dalam kesederhanaan, ia tampak sangat menikmati hidupnya. Mensyukuri apa yang ada.
Uang bukanlah sesuatu yang dirakusinya. Terbukti, hasil karyanya dijual dengan harga sangat murah, padahal walau hanya limbah, memerolehnya juga dengan membeli, tidak gratis. Dan, menyusun potongan-potongan kain menjadi benda-benda bernilai seni sekaligus memiliki fungsi bukanlah pekerjaan sepele dan tak memakan waktu. Kreativitas, imajinasi, kejelian, dan ketelatenan, wajib ada untuk mengubah sampah kain menjadi sebuah benda pakai yang estetik.
Di samping merajin perca, Si Nenek punya kegiatan lain di rumah –selain pekerjaan pokok ibu tumah tangga. Di tepi tembok tinggi dinding bank seberang gang depan rumah mungilnya, terdapat berbagai macam tanaman obat. Adalah hasil gerak tangannya. Hijauan ini tampak sangat sederhana namun mengandung daya tarik istimewa bagi orang yang melihatnya. Pot-potnya hanya dari kaleng biskuit, botol minuman, bahkan helm, yang semuanya barang bekas. Sebagian di tata di bawah dan sebagiannya digantung dengan tali-tali kabel bekas perangkat elektronika. Ia merawat itu semua sebagai hiburan sehari-hari.
Menariknya lagi, tanam-tanaman itu berfaedah bagi warga sekitar. Bila ada tetangga yang butuh, baik untuk dikonsumsi atau ditanam di rumah sendiri, Si Nenek memberikannya cuma-cuma. Ia menolak bila disodori uang. Benarlah, uang bukan sesuatu yang dirakusinya.
Sebelum berpamitan, penulis menanyakan kiat hidup sehat kepada Si Nenek. Ia menjawab ringan diikuti tawa, “Punya uang senang, tidak punya uang pun senang. Hahaha…” Ia juga bilang bahwa soal makan cukup yang sederhana saja, apa adanya, tidak neko-neko.
Pengalaman yang kedua, beberapa bulan lalu penulis mengobrol dengan seorang teman pengajian. Sebenarnya kami sudah biasa satu majelis sejak beberapa tahun lalu, tapi baru kali itu berkenalan dan mengobrol. Adalah seorang kakek berperawakan kecil yang penampilannya selalu rapi dan bersih.
Sama dengan Si Nenek, yang tak terduga oleh penulis adalah umurnya. Kakek itu ternyata sudah berumur delapan puluh sekian tahun. Padahal penulis kira baru enam puluhan. Si Kakek tampak segar bugar; badan kecilnya tegap dan gerak-geriknya pun masih gesit. Dalam obrolan, ia mengisahkan sejarah masa silam dengan cukup lantang dengan artikulasi yang jelas. Pendengarannya pun masih peka.
Menjadi kebiasaan penulis, setiap mengobrol dengan orang yang masih segar bugar di usia lanjut, nyaris selalu menanyakan kiat hidup sehatnya. Saat ditanya, Si Kakek mengawali jawaban dengan senyuman. Baru ia menyebutkan tiga amalannya. Pertama, menerima apa yang ada, tidak serakah, apalagi berambisi mengambil yang bukan haknya. Kedua, bila melihat tetangga bisa membeli ini dan itu, bisa punya ini dan itu, bukannya iri tapi malah ikut senang. Dan yang ketiga dan yang paling sulit menurutnya adalah, bila dirinya dibenci orang, ia malah berusaha mendekati si bersangkutan. Untuk urusan makan, ia berbagi kiat senada dengan Si Nenek; sederhana, apa adanya, tidak neko-neko. Bisa ditebak, apa makanan sederhana sehari-hari bangsa kita zaman dulu. Hanya nasi sayur hijau dengan lauk tempe tahu. Bukan makanan mahal bermerek terkenal.
Dua pengalaman penulis di atas adalah ayat-ayat Allah subhanahu wa ta’ala yang ada di sekitar kita. Ia tak tertulis namun bisa dibaca. Bila kita korelasikan dengan tibbun nabawi, sadar atau tidak, kedua lansia itu sebenarnya telah mengamalkan gaya hidup yang dicontohkan Rasulullah shalallahu ‘alaihi wassalam. Sederhana dalam makanan, qana’ah, menebar kasih sayang dengan bersikap manis kepada orang lain, tidak iri hati, bahkan juga mendekati orang yang membenci.
Rasulullah shalallahu ‘alaihi wassalam mengajarkan kita sederhana dalam hal makan. Hal ini terisyarat dalam sejumlah hadits. Bahkan al-Qur’an pun jelas menyerukannya.
“…. Makan dan minumlah, tetapi jangan berlebihan. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang yang berlebih-lebihan.” (al-A’raf: 31).
Sikap merasa cukup atas apa yang ada atau qana’ah juga merupakan akhlaq mulia dalam Islam.
“Sungguh beruntung orang yang masuk Islam dan rezekinya cukup, dan merasa cukup dengan apa yang Allah beri.” (Hr. Muslim).
Iri hati merupakan akhlaq tercela. Ia merupakan salah satu ekspresi ketidak-qana’ah-an. Sebaliknya, menebar kasih sayang dan menjaga ukhuwah juga merupakan ajaran penting dalam Islam. Bahkan sekadar senyuman saja sudah bernilai shadaqah.
“Senyummu kepada saudaramu adalah shadaqah ….” (Hr. Tirmidzi).
Menyambung silaturahim merupakan amal yang sangat penting. Terlebih bila dengan orang yang memutuskannya, sungguh itu ekspresi hati yang amat mulia. Rasulullah shalallahu ‘alaihi wassalam pernah memesankan ini kepada shahabatnya, Abu Dzar radhiyallahu ‘anhu, sebagai satu dari tujuh pesan penting untuknya.
Dari Abu Dzar al-Ghifari radhiyallahu ‘anhu, ia berkata, “Orang yang aku kasihi (yakni Rasulullah) memerintahkan aku melakukan tujuh hal. Dia memerintahku mencintai dan mendekati orang-orang miskin. Dia memerintahku agar melihat ke bawah, tidak melihat ke atas. Dia memerintahku agar tetap menjalin silaturahim meski orang tersebut memutuskannya ….” (Hr. Ahmad).
Benar, bukan, kedua lansia itu sejatinya telah mengamalkan adab-adab Islam, memraktikkan gaya hidup Rasulullah shalallahu ‘alaihi wassalam? Memang kelihatannya sederhana, tapi apakah setiap orang mampu melakukannya? Apakah diri kita sudah bisa seperti mereka berdua? Mari kita tanyakan dan jawab dengan sejujurnya. Kita jadikan itu evaluasi untuk merancang perbaikan diri. Menerapkan gaya hidup Nabi tidak saja menjadikan kaum Muslim beroleh pahala akhirat, mulia di hadapan Allah ta’ala. Tetapi juga keberkahan hidup di dunia yang salah satu wujudnya adalah jiwa raga sehat nan prima. Wallahu a’lam. [IB]