KLATEN (Panjimas.com) – Rumah Sakit Umum Pusat (RSUP) Dr Soeradji Tirtonegoro Klaten Jawa Tengah (Jateng) atau yang lebih akrab disebut warga Klaten dengan nama RS Tegalyoso Klaten menggiatkan integrasi penggunaan obat herbal pada pelayanan fasilitas kesehatan melalui Poliklinik Rosela dengan memaksimalkan hasil saintifikasi jamu.
“Pasien di sini memang ada yang ingin dapat (obat herbal -red) jamu saja, tapi ada juga yang mau campuran dengan obat konvensional. Jadi istilahnya Poliklinik Rosela sudah terintegrasi dengan pelayanan konvensional,” kata Direktur Medik dan Keperawatan RS Tegalyoso, Djoko Windoyo di Klaten pada Jum’at (6/2/2015).
Menurut Djoko, pasien di Poliklinik Rosela yang merupakan salah satu jejaring Klinik Saintifikasi Jamu Tawangmangu di bawah Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Tanaman Obat dan Obat Tradisional (B2P2TOOT) pada awal dirintis cukup ramai pasien. Namun saat layanan kesehatan berbasis penelitian tersebut tidak lagi menggratiskan layanan dan obatnya, jumlah pasien menurun.
“Hambatannya karena (obat herbal atau jamu -red) tidak dijamin oleh BPJS (Badan Penyelenggara Jaminan Sosial -red) ya susah juga,” ungkap Djoko.
Selain itu, kendala lain yang sering dihadapi untuk menggiatkan obat herbal atau jamu karena masih ada dokter yang “alergi” dengan obat herbal, mengingat belum ada bukti ilmiah. “IDI (Ikatan Dokter Indonesia) sendiri masih belum 100 persen setuju (dengan obat herbal -red). Walau begitu kita tetap jalan, mungkin kalau sudah banyak bukti ilmiahnya, dokter akan semakin banyak menerima,” ujar Djoko.
Untuk tetap dapat meningkatkan layanan kesehatan dengan saintifikasi obat herbal atau jamu, lanjut Djoko, dokter-dokter di RS Tegalyoso Klaten memang diminta untuk juga dapat mengarahkan pasien mengintegrasikan obat herbal.
“Kebanyak memang dokter ortopedi dan rawat jalan yang mau mengirim pasiennya ke Poliklinik Rosela. Memang butuh waktu untuk dapat membuat dokter menerima obat-obat herbal,” jelas Djoko.
Sebelumnya, Dirjen Bina Farmasi dan Alat Kesehatan Kemkes, Linda Maura Sitanggang saat berkunjung ke B2P2TOOT Tawangmangu mengatakan, obat herbal atau jamu yang merupakan ramuan asli Indonesia sudah mulai banyak dibuat dalam bentuk ekstrak, dan beribu-ribu sudah memiliki ijin edar.
Menurut dia, karena jamu bersifat kekhasan, maka tidak perlu pula 100 persen sampai tahap fitofarmaka. Namun yang perlu dibuktikan secara ilmiah melalui penelitian dan pengembangan yakni keamanan, mutu, dan khasiat obat tradisional tersebut.
Sedangkan untuk dapat masuk ke dalam daftar Formularium Nasional Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) ditentukan Menteri Kesehatan (Menkes), dan harus berupa obat esensial. Misalkan jamu masuk JKN, harus berdasarkan bukti ilmiah yang dikumpulkan baik berkhasiat dan harus memiliki “cost efective”.
“Tapi kita tidak usah putus asa, karena jika dalam pelanyanan dasar sudah baik maka bisa diusulkan Dinas Kesehatan untuk ketersediaan jamu untuk pengobatan tradisional di Puskesmas. Makanya di Puskesmas sekarang sudah ada layanan itu,” ujar Linda. [GA/Ant]