PANJIMAS.COM – Mendistribusikan hewan qurban bukanlah perkara sepele yang bisa dilakukan semaunya. Dalam hal ini, syariat Islam sebenarnya telah mengaturnya secara rinci, oleh sebab itu wajib diketahui oleh panitia qurban perkara terlarang dalam pemanfaatan hasil sembelihan qurban.
Pada dasarnya distribusi hasil qurban dianjurkan untuk dimakan oleh shohibul qurban, disedekahkan kepada faqir miskin untuk memenuhi kebutuhan mereka. Dihadiahkan pada kerabat untuk mengikat tali silaturahmi, pada tetangga dalam rangka berbuat baik dan pada saudara muslim lainnya agar memperkuat ukhuwah. Sesuai dengan Firman Allah Ta’ala:
لِيَشْهَدُوا مَنَافِعَ لَهُمْ وَيَذْكُرُوا اسْمَ اللَّهِ فِي أَيَّامٍ مَعْلُومَاتٍ عَلَى مَا رَزَقَهُمْ مِنْ بَهِيمَةِ الأنْعَامِ فَكُلُوا مِنْهَا وَأَطْعِمُوا الْبَائِسَ الْفَقِيرَ
“Supaya mereka menyaksikan berbagai manfaat bagi mereka dan supaya mereka menyebut nama Allah pada hari yang telah ditentukan atas rezeki yang Allah telah berikan kepada mereka berupa binatang ternak. Maka makanlah sebahagian daripadanya dan (sebahagian lagi) berikanlah untuk dimakan orang-orang yang sengsara lagi fakir.” (QS. Al Hajj: 28).
Dalam hadits dari Salamah bin Al Akwa’ radhiyallahu, ia berkata bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
مَنْ ضَحَّى مِنْكُمْ فَلاَ يُصْبِحَنَّ بَعْدَ ثَالِثَةٍ وَفِى بَيْتِهِ مِنْهُ شَىْءٌ » . فَلَمَّا كَانَ الْعَامُ الْمُقْبِلُ قَالُوا يَا رَسُولَ اللَّهِ نَفْعَلُ كَمَا فَعَلْنَا عَامَ الْمَاضِى قَالَ كُلُوا وَأَطْعِمُوا وَادَّخِرُوا فَإِنَّ ذَلِكَ الْعَامَ كَانَ بِالنَّاسِ جَهْدٌ فَأَرَدْتُ أَنْ تُعِينُوا فِيهَا
“Barangsiapa di antara kalian berqurban, maka janganlah ada daging qurban yang masih tersisa dalam rumahnya setelah hari ketiga.” Ketika datang tahun berikutnya, para sahabat mengatakan, ”Wahai Rasulullah, apakah kami harus melakukan sebagaimana tahun lalu?” Maka beliau menjawab, ”(Adapun sekarang), makanlah sebagian, sebagian lagi berikan kepada orang lain dan sebagian lagi simpanlah. Pada tahun lalu masyarakat sedang mengalami paceklik sehingga aku berkeinginan supaya kalian membantu mereka dalam hal itu.” (HR. Bukhari no. 5569 dan Muslim no. 1974).
Ada dua bentuk pemanfaatan hasil sembelihan qurban yang terlarang, yaitu pertama, Menjual sebagian dari hasil sembelihan qurban dan kedua, Memberi upah pada jagal dari hasil sembelihan qurban.
Menjual sebagian dari hasil sembelihan qurban baik berupa kulit, wol, rambut, daging, tulang dan bagian lainnya adalah terlarang.
Dalil terlarangnya hal ini adalah hadits Abu Sa’id, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
وَلاَ تَبِيعُوا لُحُومَ الْهَدْىِ وَالأَضَاحِىِّ فَكُلُوا وَتَصَدَّقُوا وَاسْتَمْتِعُوا بِجُلُودِهَا وَلاَ تَبِيعُوهَا
“Janganlah menjual hewan hasil sembelihan hadyu dan sembelian udh-hiyah (qurban).Tetapi makanlah, bershodaqohlah, dan gunakanlah kulitnya untuk bersenang-senang, namun jangan kamu menjualnya.” (HR. Ahmad no. 16256, 4/15) Syaikh Syu’aib Al Arnauth mengatakan bahwa sanad hadits ini dho’if (lemah).
Walaupun hadits di atas dho’if, menjual hasil sembelihan qurban tetap terlarang. Alasannya, qurban disembahkan sebagai bentuk taqarrub pada Allah yaitu mendekatkan diri pada-Nya sehingga tidak boleh diperjualbelikan.
Sama halnya dengan zakat. Jika harta zakat kita telah mencapai nishob (ukuran minimal dikeluarkan zakat) dan telah memenuhi haul (masa satu tahun), maka kita harus serahkan kepada orang yang berhak menerima tanpa harus menjual padanya. Jika zakat tidak boleh demikian, maka begitu pula dengan qurban karena sama-sama bentuk taqorrub pada Allah. Alasan lainnya lagi adalah kita tidak diperkenankan memberikan upah kepada jagal dari hasil sembelihan qurban.
Dari sini, tidak tepatlah praktek sebagian kaum muslimin ketika melakukan ibadah yang satu ini dengan menjual hasil qurban termasuk yang sering terjadi adalah menjual kulit. Bahkan untuk menjual kulit terdapat hadits khusus yang melarangnya. Dari Abu Hurairah, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
مَنْ بَاعَ جِلْدَ أُضْحِيَّتِهِ فَلاَ أُضْحِيَّةَ لَهُ
“Barangsiapa menjual kulit hasil sembelihan qurban, maka tidak ada qurban baginya.” (HR. Al-Hakim). Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini hasan. Lihat Shahih At Targhib wa At Tarhib no. 1088. Maksudnya, ibadah qurbannya tidak ada nilainya.
Larangan menjual hasil sembelihan qurban adalah pendapat para Imam Asy Syafi’i dan Imam Ahmad. Imam Asy Syafi’i mengatakan, “Binatang qurban termasuk nusuk (hewan yang disembelih untuk mendekatkan diri pada Allah). Hasil sembelihannya boleh dimakan, boleh diberikan kepada orang lain dan boleh disimpan. Aku tidak menjual sesuatu dari hasil sembelihan qurban (seperti daging atau kulitnya, pen). Barter antara hasil sembelihan qurban dengan barang lainnya termasuk jual beli.”
Sedangkan Imam Abu Hanifah berpendapat dibolehkannya menjual hasil sembelihan qurban, namun hasil penjualannya disedekahkan. Akan tetapi, yang lebih selamat dan lebih tepat, hal ini tidak diperbolehkan berdasarkan larangan dalam hadits di atas dan alasan yang telah disampaikan.
Catatan penting yang perlu diperhatikan: Pembolehan menjual hasil sembelihan qurban oleh Abu Hanifah adalah ditukar dengan barang karena seperti ini masuk kategori pemanfaatan hewan qurban menurut beliau. Jadi beliau tidak memaksudkan jual beli di sini adalah menukar dengan uang. Karena menukar dengan uang secara jelas merupakan penjualan yang nyata. Inilah keterangan dari Syaikh Abdullah Ali Bassam dalam Tawdhihul Ahkam[16] dan Ash Shon’ani dalam Subulus Salam[17]. Sehingga tidak tepat menjual kulit atau bagian lainnya, lalu mendapatkan uang sebagaimana yang dipraktekan sebagian panitia qurban saat ini. Mereka sengaja menjual kulit agar dapat menutupi biaya operasional atau untuk makan-makan panitia.
Mengenai penjualan hasil sembelihan qurban dapat kami rinci:
- Terlarang menjual daging qurban (udh-hiyah atau pun hadyu) berdasarkan kesepakatan (ijma’) para ulama.
- Tentang menjual kulit qurban, para ulama berbeda pendapat:
Pertama: Tetap terlarang. Ini pendapat mayoritas ulama berdasarkan hadits di atas. Inilah pendapat yang lebih kuat karena berpegang dengan zhahir hadits (tekstual hadits) yang melarang menjual kulit sebagaimana disebutkan dalam riwayat Al Hakim. Berpegang pada pendapat ini lebih selamat, yaitu terlarangnya jual beli kulit secara mutlak.
Kedua: Boleh, asalkan ditukar dengan barang (bukan dengan uang). Ini pendapat Abu Hanifah. Pendapat ini terbantah karena menukar juga termasuk jual beli. Pendapat ini juga telah disanggah oleh Imam Asy Syafi’i dalam Al Umm (2/351). Imam Asy Syafi’i mengatakan, “Aku tidak suka menjual daging atau kulitnya. Barter hasil sembelihan qurban dengan barang lain juga termasuk jual beli.”
Ketiga: Boleh secara mutlak. Ini pendapat Abu Tsaur sebagaimana disebutkan oleh An Nawawi. Pendapat ini jelas lemah karena bertentangan dengan zhahir hadits yang melarang menjual kulit.
Sebagai nasehat bagi yang menjalani ibadah qurban: Hendaklah kulit tersebut diserahkan secara cuma-cuma kepada siapa saja yang membutuhkan, bisa kepada fakir miskin atau yayasan sosial. Setelah diserahkan kepada mereka, terserah mereka mau manfaatkan untuk apa. Kalau yang menerima kulit tadi mau menjualnya kembali, maka itu dibolehkan. Namun hasilnya tetap dimanfaatkan oleh orang yang menerima kulit qurban tadi dan bukan dimanfaatkan oleh shohibul qurban atau panitia qurban (wakil shohibul qurban).
Larangan Memberi Upah Jagal dari Bagian Hewan Qurban
Selanjutnya, larangan memberi upah buat jagal yang diambilkan dari bagian tubuh hewan jelas dan nyata serta valid.
- Dalil Pertama : Hadits Larangan Mengupah Jagal
Haditsnya diriwayatkan oleh ‘Ali bin Abi Thalib,dimana beliau di masa lalu pernah berperan seperti ‘panitia’ penyembelihan hewan qurban seperti di masa kita sekarang ini.
Beliau saat itu juga menyewa jagal profesional dan memberikan upah yang layak, namun bukan diambilkan dari tubuh hewan itu. Beliau mengupah dengan uang yang diambilkan dari sumber lainnya.
أَمَرَنِى رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- أَنْ أَقُومَ عَلَى بُدْنِهِ وَأَنْ أَتَصَدَّقَ بِلَحْمِهَا وَجُلُودِهَا وَأَجِلَّتِهَا وَأَنْ لاَ أُعْطِىَ الْجَزَّارَ مِنْهَا قَالَ : نَحْنُ نُعْطِيهِ مِنْ عِنْدِنَا
Rasulullah SAW memerintahkanku untuk mengurusi unta-unta qurban beliau. Aku mensedekahkan daging, kulit, dan jilalnya (kulit yang ditaruh pada punggung unta untuk melindungi dari dingin). Aku tidak memberi sesuatu pun dari hasil sembelihan qurban kepada tukang jagal. Beliau bersabda, “Kami akan memberi upah kepada tukang jagal dari uang kami sendiri”. (HR. Muslim)
Dari hadits ini, An-Nawawi rahimahullah mengatakan bahwa tidak dibolehkan untuk memberi tukang jagal yang diambilkan dari sebagian hasil sembelihan qurban sebagai upah baginya. Pendapat ini juga didukung oleh pendapat para ulama Syafi’iyahlainnya, dan juga menjadi pendapat Atha’, An-Nakha’i, Imam Malik, Imam Ahmad dan Ishaq.
- Dalil Larangan Menjual Kulit Hewan Qurban
Dalil keharaman lainnya adalah dalil umum tentang haramnya menjual daging hewan qurban berikut ini :
مَنْ بَاعَ جِلْدَ أُضْحِيَتِهِ فَلاَ أُضْحِيَّةَ لَهُ
Orang yang menjual kulit hewan qurban, maka tidak ada qurban baginya. (HR Al-Hakim)
Hadits ini menyebutkan haramnya menjual kulit hewan qurban. Maka mengupah jagal dengan kulit atau bagian tubuh lainnya hukumnya haram. Sebab sama saja seperti kita menjualnya kepada pihak lain.
Alternatif Sumber Upah
Karena mengupah jagal itu wajib, tetapi haram hukumnya kalau diambilkan dari tubuh hewan, maka panitia dalam hal ini bisa mencari sumber dana yang lain, misalnya :
- Dari Pemilik Hewan
Yang paling mudah dan masuk akal, upah jagal diperoleh dari uang biaya penyembelihan yang memang sejak awal dikenakan kepada pemilik hewan qurban.
Dari tiap hewan kambing yang diminta disembelihkan, pemilik hewan dikenakan biaya khusus penyembelihan di luar harga hewan, misalnya sebesar 50 ribu atau 100 ribu rupiah.
- Dari Keuntungan Jual Hewan
Dan bisa juga dana untuk upah jagal diambilkan dari hasil keuntungan menjual hewan qurban. Sebab panitia yang menyediakan hewan qurban memang dibenarkan mengambil untuk dari tiap hewan.
Bisa ditawarkan kambing dengan harga 2 juta dengan rentang berat sekian kilo hingga sekian kilo. Panitia tentu membeli kambing dari sumbernya tidak dengan harga 2 juta, tetapi di bawah itu, misalnya 1,5 – 1,7 juta. Ada keuntungan 200 hingga 300 per ekor. Keuntungan ‘jual’ kambing ini adalah keuntungan yang halal dan sah.
Maka dari situlah dana untuk upah jagal diambilkan dan tidak boleh diambilkan dari tubuh hewan.
- Dari Kas Masjid
Kalau kebetulan pengurus masjid juga menjadi panitia penyembelihan hewan qurban, atas persetujuan dari jamaah masjid itu, boleh saja dana upah buat jagal diambilkan dari uang kas masjid.
Hal itu mengingat kerja panitia penyembelihan hewan qurban dijadikan bagian dari program kerja masjid. Maka wajar kalau sejak awal memang sudah dianggarkan dari uang kas masjid.
Tentu saja penggunaan dana kas masjid untuk mengupah jagal ini harus disepakati dulu sejak awal, agar jelas dasar hukumnya dan tidak dianggap sebagai kebocoran atau pengkhianatan pengurus dalam penggunaan uang kas masjid. [AW/dbs]