PANJIMAS.COM – Dalam edisi lalu, kita telah memeroleh pemaparan akan betapa pentingnya rasa malu dalam diri manusia. Malu adalah sifat terpuji yang harus ada di dalam diri orang beriman. Ia menjadi tanda kemuliaan akhlaq manusia. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam bahkan mengatakan bahwa seluruh kebaikan sejalan dengan rasa malu.
Beliau bersabda,
“Rasa malu tidak datang kecuali bersama kebaikan…” (Hr. Bukhari) dan, “Rasa malu adalah kebaikan seluruhnya…” (Hr. Muslim).
Namun begitu ada pengecualian untuk jenis rasa malu tertentu. Adalah rasa malu yang tidak membuahkan kebaikan, yang oleh sebab itu Allah Ta’ala menilainya sebagai rasa malu yang tercela.
Sebelum mengenal lebih rinci perihal rasa malu yang tercela, kita akan coba pahami dulu perbedaan prinsip antara rasa malu yang terpuji dengan rasa malu yang tercela. Pada prinsipnya, rasa malu yang terpuji adalah rasa malu yang dapat mendatangkan kebaikan secara umum, untuk diri sendiri dan kehidupan secara luas. Atau dengan kata lain, ia sejalan dan mendukung tertunaikannya ketaatan kepada Allah Ta’ala dan dilakukan secara ikhlas hanya mengharap imbalan dan ridha dariNya. Sedang rasa malu yang tercela ialah yang mendorong atau menjadikan kebaikan menjauh dan yang datang kemurkaan Allah Ta’ala
Rasa malu yang terpuji dibagi menjadi dua. Pertama, malu kepada Allah Ta’ala. Diriwayatkan bahwa suatu ketika Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam bersabda,
“Malulah kalian kepada Allah dengan sebenar-benarnya.” Jawab para shahabat,” Kami sudah malu, ya Rasulullah.” Nabi menjelaskan, “Bukan demikian. Yang dimaksud malu kepada Allah dengan sebenar-benarnya adalah menjaga kepala dan organ-organ yang terletak di kepala, menjaga perut beserta oragan-organ yang berhubungan dengan perut, dan mengingat kematian dan saat badan hancur di dalam kubur. Siapa yang menginginkan akhirat harus meninggalkan kesenangan dunia. Siapa yang meninggalkan hal-hal tersebut, maka ia telah merasa malu kepada Allah dengan sebenar-benarnya.” (Hr. Tirmidzi).
Berdasan hadits di atas, maka rasa malu kepada Allah Ta’ala dapat diartikan sebagai rasa malu untuk melakukan perbuatan, ucapan, maupun sikap, yang tercela, karena menyadari bahwa Allah Ta’ala pasti menyaksikan dan tidak menyukainya.
Kedua, malu kepada sesama manusia. Rasa malu ini dimiliki oleh manusia normal (tidak sakit jiwa) dan dalam keadaan sadar (tidak tidur atau pingsan). Misalnya malu ketika terbuka auratnya, malu kepada orang yang melihat kita saat lupa tak menutup mulut ketika menguap, dll. Bila itu semua sejalan dengan rasa malu kepada Allah Ta’ala, menjadi penjagaan kita untuk berhati-hati dalam berperilaku, dengan tetap didorong rasa ikhlas (tanpa bermaksud riya’), maka ia termasuk malu yang terpuji.
Nah, sekarang kita coba kenali rasa malu yang tercela. Kadang kita malu untuk bertanya perihal ilmu atau hukum fiqih, misalnya. Karena itu, kita menjadi tetap berada dalam kebodohan, beramal tidak sesuai kaidah yang benar. Rasa malu inilah yang dinilai tercela.
Bila kita tengok sejarah kehidupan gerenasi salaf, kita akan menyaksikan mereka tidak malu menanyakan berbagai hal yang memang berurusan dengan tanggung jawab manusia terhadap Rabb-nya. Mereka berani lantang mengajukan pertanyaan demi agar selamat dari perbuatan dosa. Hadits berikut ini memuat salah satu contoh kasusnya:
Suatu hari Ummu Sulaim Radhiyallahu ‘anha bertanya kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam, “Ya Rasulullah, sungguh, Allah tidak malu dari kebenaran. Apakah wajib mandi bagi wanita yang mimpi basah?” Beliau menjawab, “Ya, jika ia melihat air.” (Hr. Bukhari no. 6121 dan Muslim no. 313).
Qadi’ Iyad Radhiyallahu ‘anhu mengatakan, “Malu yang menyebabkan tersia-sianya hak adalah malu yang tidak disyari’atkan. Bahkan ia merupakan ketidakmampuan dan kelemahan… (Fathul Bari: 10/522).
Dalam al-Qawa’id wal-Fawa’id disebutkan bahwa, malu yang menyebabkan pelakunya menyia-nyiakan hak Allah swt sehingga ia beribadah kepada Allah Ta’ala dengan kebodohan tanpa mau bertanya tentang agama; menyia-nyiakan hak dirinya sendiri; hak-hak orang yang menjadi tanggungannya; hak-hak kaum Muslim; adalah tercela, karena pada hakikatnya itu adalah kelemahan dan ketidakberdayaan. (al-Qawa’id wal Fawa’id hlm. 182).
Senada dengan penjelasan di atas, Imam Mujahid mengatakan,
“Orang yang malu dan orang yang sombong tidak akan memeroleh ilmu.” (Atsar shahih riwayat Bukhari).
Mengenai sifat para Muslimah Anshar, Aisyah Radhiyallahu ‘anha mengatakan,
“Sebaik-baik wanita adalah wanita Anshar. Rasa malu tidak mampu menghalangi mereka untuk mendalami agama.” (Atsar shahih riwayat Bukhari).
Demikianlah nilai rasa malu di dalam Islam. Sejatinya rasa malu merupakan sifat terpuji. Namun, ada satu jenis rasa malu yang tercela, malu yang membuat manusia terhenti di dalam penjara kebodohan dan keterbelakangan oleh karena terpisah dari ilmu. Padahal ilmu merupakan bekal memeroleh kebahagiaan dunia dan akhirat.
“Barang siapa menginginkan dunia, hendaklah dengan ilmu. Barang siapa menginginkan akhirat, hendaklah dengan ilmu. Barangsiapa menginginkan keduanya, hendaklah dengan ilmu.” (Hr. Muslim).
Bagaimana dengan kita? Apakah masih sering malu untuk bertanya? Mari berbenah! Wallahu a’lam. [IB]